PK IMM PUTM PUTRA

Selasa, 28 Februari 2012

STRUKTUR PENGURUS PK. IMM PUTM PUTRA PEIODE 2011-2012

KETUA UMUM
(Fahmi)


SEKRETARIS UMUM
(Husain)


BENDAHARA
(Miqdad, Fikri)


BIDANG DAKWAH

(Atin, Farid, Syahrul, Syarif)



BIDANG EKONOMI DAN KEWIRAUSAHAAN

(Feri, Tri, Faiz)



BIDANG SENI, BUDAYA, DAN OLAHRAGA

(Akbar, Saddam, Aliun)


BIDANG MEDIA DAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI

(Waskito, Fathur, Aiman)


BIDANG HIKMAH

(Qaem, Alma, Rois)



BIDANG KEILMUAN

(Ayub, Agus, Charis)



BIDANG SOSIAL DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

(Juwaini, Husni, Roni, Hudzaifah)



BIDANG ORGANISASI
(Abdan, Firman, Ardi)




Kamis, 23 Februari 2012

Membela Abu Hurairah ra.; Antara Orientalis dan Semi-Orientalis

Sunnah, Sahabat dan Orientalisme

Sunnah merupakan inteprestasi praksis(at-tafsîr al-‘amalîy) atas Quran. Di samping ia juga merupakan inplementasi riil(al-tathbiq al-waqi’iy) dan ideal(al-mitsaliy) dari Islam. Nabi saw. merupakan penafsir(interpreter) Quran dan simbol Islam. Hal ini telah diketahui oleh isteri beliau tercinta, Aisyah ra. Dengan kedalaman pemahaman, kecerdasan dan interaksinya dengan Nabi saw. Ketika ia ditanya tentang akhlak Rasul saw., ia menjawab; "Kana khuluquhu al-Quran".

Sedang sahabat sebagai orang yang pernah berkutat dan bersinggungan dengan Nabi saw. memiliki peran penting sebagai periwayat pertama, pembawa syariat, atau memberitakan segala hal yang ia peroleh dari Nabi saw. kepada orang-orang setelah mereka. Dan tidak semua sahabat sama derajat keilmuannya perihal apa yang dinukil dari Nabi saw. Ada yang kesehariannya melayani Nabi saw.; seperti Anas bin Malik ra. dan Abu Hurairah ra., juga mereka yang jauh tempat tinggalnya dengan kediaman Nabi saw., namun tetap aktif menghadiri majelis keilmuan yang diadakan oleh Rasul. Tetapi Jumhur Ulama bersepakat bahwa seluruh sahabat adalah adil(‘udûl), baik itu mereka yang pernah bersinggungan dengan fitnah politik maupun tidak.

Lalu apa hubungannya dua hal di atas dengan orientalisme? Orientalisme(al-istisyraq) sebagai lawan dari Oksidentalisme(al-Istighrab)-diskursus timbal balik yang digagas Hasan Hanafi- merupakan studi ketimuran yang mencakup bahasa, sastra, peradaban, dan agamanya. Hemat penulis, menyimpul dari definisi Edward Said, orientalisme adalah droping bangsa asing terhadap Timur dengan ambisi menghegemoni bangsa Timur. Tidak diketahui secara pasti, siapa ilmuwan barat pertama yang memberikan perhatian pada studi ini juga tentang limit waktunya. Ditenggarai sebagian pendeta Barat banyak yang pergi belajar ke Andalusia pada masa keemasannya. Dan Jerbert adalah alumnus Andalusia yang kemudian menduduki tahta Paus di Vatikan pada 999 M. Ia menguasai bahasa Arab, matematika dan astronomi. Langkah Jerbert ini disusul dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya hingga sekarang ini(as-Siba’i:1999:15-16).

Selanjutnya, evolusi, motif, serta piranti orientalisme dapat kita simpulkan sejalan dengan periodesasi peradaban Kristen-Barat. Terutama meletusnya perang Salib(crusaide), renaissance Eropa pada abad 15-16, hingga imperialisme Barat ke Dunia Ketiga(abad 17 hingga awal 20). Motifnya pun bermacam, mulai dari agama(harmonisasi antara Kristenisasi dengan orientalisme), riset ilmiah murni, ekonomi, juga tak lepas dari kepentingan imperialis-kolonialisme. Yang akhirnya mengerucut orientasi utamanya pada studi ke-Islaman(Islamic Studies). Seperti yang diakui oleh Pierrela, orientalis pertama Eropa yang menerjemahkan Quran dengan tujuan meragukan umat Islam terhadap agama mereka sendiri. Pernyataan Pierrela diamini oleh Johan Fuck(orientalis Jerman). "Akhirnya (Pierrela) berkeyakinan bahwa tidak ada jalan lain untuk melawan bid’ah(heretic) ‘Muhammad’ dengan menggunakan senjata buta, tapi harus disangkal(disanggah) lewat kekuatan ‘kata’ dengan menggunakan alasan-alasan rasional demi meraih kecintaan umat Masehi. Namun sebelum itu harus(terlebih dahulu) mengetahui pendapat(keilmuan) musuh. Demikianlah rencana Pierrela dalam menerjemahkan Quran"(Jurnal ar-Risalah:vol.12,9/2005,77). Maka berangsur-angsur munculah nama-nama orientalis(mustasyriq) semacam A.J Arberry, Baron Carra de Vaux, HA. R.Gibb, S. Zweimer(orientalis sekaligus misionaris), Ignaz Goldziher, J.Schacht, dan A.J. Wensinck. Tiga nama terkahir sangat berkaitan dan populer dalam kajian Hadis Nabi saw. Mereka pun mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat, selain menerbitkan buku dan jurnal kajian keislaman seperti ‘Islamic World.

Sisi lainnya, tentu kita tak bisa menampik kontribursi positif dari hasil kajian para orientalis ini seperti Mu’jam al-Mafahras Li Alfazh al Hadis al Syarif oleh Wensinck dkk. Sebuah literatur ensikopedia yang mencakup kitab hadis enam yang terkenal itu(kutub as-Sittah al-Masyhurah). Ditambah dengan Musnad al-Darimi, al-Muwaththa’ Imam Malik, dan al-Musnad Imam Ahmad bin Hanbal. Artinya, dalam tataran objektivitas studi yang mereka lakukan atas khazanah keislaman dapatlah kita terima, meski tidak memuaskan. Tapi kita sebagai umat Islam harus selalu memiliki jiwa kritis-objektif sehingga tidak mudah terjebak dan tertipu dalam pengagungan yang menjebak dan nilai-nilai ilmiah konstruktif yang menipu. Sesuai dengan adagium yang kerap didengungkan, "al-hikmah dhallatu’l muslim anna wajadah akhdzaha." Hikmah itu adalah mutiara yang hilang dari setiap individu Muslim. Maka, dimana(dan darimana)pun ia datang, ia berhak untuk memungutnya kembali.

Berkaitan dengan bahasan kita kali ini, disamping kontribusi positif di atas, para orientalis juga banyak yang melakukan hal-hal yang tidak benar seputar hadis Nabi saw. Dapat dipahami , karena satu garapan dari orientalisme adalah pribadi Nabi saw. Mau tidak mau, menyerang atas diri dan sunnah Nabi saw. harus dilakukan. Termasuk di dalamnya para sahabat dan tokoh hadis seperti Abu Hurairah ra. dan Imam az-Zuhri.. Sebab para orientalis mengetahui bahwa fondasi entitas umat Islam dan agama mereka adalah Quran dan Sunnah.

Goldziher (Orientalis Yahudi Hongaria) dalam "Muhammedanische Studien", secara eksplisit menyimpulkan bahwa Hadis Nabi saw. tidak ada atau muncul pada masa kenabian. Namun baru muncul pada abad ke-I dan 2 H yang lahir dari dialektika religius, politik, dan sosial waktu itu. (as-Siba’i:1998:183-187). Dr. Musthafa As-Sibai mencounter pendapat Goldziher tersebut dalam bukunya as-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami dengan mengatakan: "Kita tidak tahu mengapa dia sebegitu berani mengatakan hal tersebut. Sementara periwayatan-periwayatan valid(al-nuqul al-tsabithah) tidak membenarkan hal itu. Padahal sebelum Rasul saw. mangkat, beliau telah meletakkan dasar bangunan Islam secara sempurna berdasar apa yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya dan apa yang telah beliau gariskan dalam sunahnya: syariat-syariat serta hukum-hukum yang sempurna. Beliau bersabda: "Aku telah meninggalkan untuk kalian dua hal. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, niscaya kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah (Quran) dan Sunahku (Hadis)." Sabda lainnya:"Laqad taraktum ‘ala al-hanafiyyah al-samhah, lailuha kanahariha"(Aku telah meninggalkan kalian dalam agama yang kokoh dan toleran). Sebagaimana juga ayat Quran yang terakhir surat al Ma’idah ayat 3 tentang kesempurnaan agama ini. Artinya, Rasul wafat ketika Islam itu telah matang(dewasa) secara sempurna bukan lagi ‘anak-anak’ sebagaimana yang dikatakan oleh orientalis ini( Goldziher). Memang karena perluasan daerah Islam, para pembuat hukum Islam menghadapi berbagai perkara parsialistik serta kasus-kasus yang(sebagiannya) tidak memiliki nash dalam Quran dan Sunnah. Namun mereka mengfungsikan nalar(rasio) mereka melalui metode analogi(qiyas) dan istinbath(mengeluarkan dan mengambil hukum dari sumbernya) sehingga mereka bisa menentukan hukum-hukum yang ada. Dalam hal ini mereka tidak keluar dari frame Islam dan ajaran-ajarannya. Cukuplah anda mengetahui masa kematangan(nudhuj) Islam itu pada masa awalnya. Dimana Umar ra. mampu menguasai Imperium Persi(Kisra). Imperium tersbut sebelumnya telah mempunyai peradaban yang besar, namun Umar mampu untuk mengatur dan mempertahankannya. Memerintah rakyatnya secara adil, lebih adil dibandingkan dengan pemerintahan Kisra sebelumnya. Tidakkah anda tahu seandainya Islam itu masih kanak-kanak(kecil) bagaimana mungkin Umar mampu bangkit dan memikul beban berat semacam ini.(Ibid., 180). Kongklusinya, periwayatan hadis tidaklah timbul dari intrik-intrik politik yang ada.

Sedang Joseph Schacht (orientalis Jerman), mengatakan bahwa isnad adalah bagian dari ‘tindakan sewenang-wenang’ dalam hadis Nabi saw. Hadis-hadis itu sendiri dikembangkan oleh kelompok-kelompok yang berbeda yang ingin mengaitkan teori-teorinya kepada tokoh-tokoh terdahulu.(MM. A’zami: 1978:534). Untuk sanggahan terhadap mereka bisa dibaca lebih pada karya-karya MM. A’zami, dalam "Dirasah fi al-Hadis an-Nabawi atau Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya." Terjemah oleh Ali Mustafa Yakub, pustaka Firdaus, Jakarta 2000. Tema lain yang penting yang sering ditembak oleh para orientalis adalah tentang pemalsuan hadis (al-wadhu’ fi al-Hadis). Mungkin di lain kesempatan kita bisa membahasnya.

Yang patut disayangkan, sebagian cendekiawan muslim banyak yang terpengaruh oleh pemikiran Orientalis yang tendensius ini, mengambilnya dengan tanpa memfilternya. Seperti Ahmad Amin dalam Fajr al-Islam dan Dhuha al-Islam yang terang-terangan menukil Goldziher. Juga Muhammad Abu Rayyah yang disebut Dr. Musthafa Sibai sebagai semi-orientalis, terutama dalam bukunya yang berjudul Adhwa’ ‘Ala as-Sunnah al-Muhammadiyah . Selain itu ada juga semi-orientalis lain yang khusus mencela dan menuduh yang bukan-bukan terhadap Abu Hurairah, yaitu Abdul Husain Syaraf ad-Diin dalam bukunya ‘Abu Hurairah’. Kemudian segera dibantah dan diklarifikasi oleh Dr. ‘Ajaj Khatib dengan bukunya, ‘Abu Hurairah Rawiyah al-Islam.’

"Tarjamah" atau Biografi Abu Hurairah ra.(19 SH-57 H)

Banyak riwayat yang berselisih tentang namanya dan nama ayahnya hingga mencapai 30 riwayat sebagaimana terekam dalam al-Isabah Ibnu Hajar al-Asqalani dan Siyar A’lam Nubala-nya Imam Dzahabi. Tetapi pemulis lebih condong memilih riwayat dari Ibnu Ishak dalam "al-Maghazi" dari pengakuan Abu Hurairah ra. sendiri. Namanya ketika jahiliyah adalah Abdu Syams bin Sakhr. Setelah masuk Islam, Rasul saw. menamainya Abdurrahman dan menjulukinya Abu Hurairah sebab ia menemukan seekor kucing kemudian membawa dan mendekap dengan lengan bajunya(kummi). Asalnya adalah Yaman(Hadramaut, Arab selatan) dari kabilah al-Dausi dan masuk Islam dihadapan Thufail bin ‘Amru. Berangkat hijrah dan sampai ke Madinah pada tahun 7 H, tepat beberapa saat sebelum Perang Khaibar(Muharram 7 H). Kemudian menjadi pelayan Nabi dan menemaninya sehari-hari selama 4 tahun. Terhitung 4 tahun sebab Nabi saw. meninggal pada 12 Rabi’ul awwal 11 H/8 Juni 632 M. (mengacu pada Dr.‘Ajaj Khatib:2004:430). Nabi saw. pun mendoakannya agar ia selalu hafal hadis-hadis yang diterimanya dari beliau(Shahih al-Bukhari:kitab al-‘ilm:42)

Beliau berperawakan tinggi, berkulit kecoklatan(adam), dan berjenggot kemerahan. Abu Hurairah(Abdurrahman bin Sakhr al-Dausi) termasuk sahabat yang tergolong miskin dan sering tinggal dipojok serambi Masjid Nabawi(ahli shuffah). Ia pernah diutus Rasul dan Umar bin Khatab ra. ke Bahrain untuk menyebarkan Islam.

Ada sebuah kisah menarik menyangkut pengutusannya ini. Ketika Umar mengutusnya lagi ke Bahrain, Umar pun segera memberikan bekal padanya sebesar 10.000 dirham. Tetapi Abu Hurairah menampiknya dengan mengatakan, "maukah kau menjadi musuh Allah dan musuh kitab-Nya dengan memberikan harta ini?" Umar menjawab, "Aku tidak mau menjadi musuh Allah dan kitab-Nya, lalu bagaimana dengan kehidupanmu di sana?"

"Aku akan berdagang dan Allah selalu bersamaku"

Maka sepulangnya dari Bahrain abu Hurairah pun segera menemui Umar dan malah menyerahkan uang sekitar 20.000 dirham dari hasil berdagangnya untuk diinfakan ke Baitul Mal. Demikian menunjukkan kezuhudan dan kesederhanaan Abu Hurairah. Ia juga termasuk penuntut ilmu yang rajin dan suka bertanya akan sesuatu hal yang tidak diketahuinya. Gemar menyebarkan ilmunya tersebut kepada orang lain.

Selain itu, Abu Hurairah juga meriwayatkan dari para sahabat(kibar as-shahabah) diantaranya dari Abu Bakar ra., Umar ra., Ubay bin Ka’ab, Fadhal bin Abbas bin Abdul Muthalib, Usamah bin Zaid, Aisyah ra., dan Ka’ab bin Jabir(tabi’in). Sedang sahabat yang meriwayatkan darinya antara lain: Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Wasilah bin Asqa’, Jabir bin Abdullah al-anshari, dan Abu Ayub al-Anshari. Dan para tabi’in dan orang sesudahnya yang meriwayatkan dari Beliau menurut Bukhari sekitar 800 orang. Selain meriwayatkan, orang-orang tersebut juga menulis hadis dari Beliau. MM. A’zami, pakar hadis kontemporer alumni Azhar dan Cambrigde, dalam disertasinya menganalisa dan mengumpulkan sekitar 10 orang yang menulis hadis dari Beliau, disamping tidak menafikan yang lain. Diantaranya Muhammad bin Sirin dan Hamam bin Munabbih. Manuskrip Hamam bin Munabbih dari Abu Hurairah ini ditahkik dan dikomentari oleh Dr. M. Hamidullah dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Imam Ahmad dalam Musnad-nya(musnad adalah kitab yang memuat hadis-hadis para sahabat tanpa tercantum topic(maudhu’) hadis tersebut beserta derajatnya) mengetengahkan sekitar 3848 hadis dari Abu Hurairah, meski terjadi pengulangan redaksi. Imam Baqi bin Mukhalid mencatat sekitar 5374 hadis dalam Musnad-nya. Sedang dalam Shahihain, Imam Bukhari dan Muslim bersepakat untuk sekitar 325 hadis. Adapun yang sesuai dengan syarat yang diajukan Bukhari sekitar 93 hadis dan yang sesuai dengan syarat yang diajukan Muslim sekitar 189 hadis.(Ajaj Khatib:2004:431)

Ibnu al-Madini(tabi’in) mengatakan bahwa jalan periwayatan yang paling valid hingga Abu Hurairah adalah; Hamad bin Zaid dari Ayub dari Muhamamd bin Sirin dari Abu Hurairah. Dan ada sekitar 8 jalan periwayatan yang paling valid lainnya sesuai dengan yang dirangkum oleh Muhadis Syekh Ahmad Muhammad Syakir dari Musnad Abu Hurairah yang merupakan bagian dari kitab al-Musnad-nya Imam Ahmad.

Abu Hurairah meninggal pada tahun 57 H semasa dengan wafatnya Aisyah ra. menurut pandapat yang paling valid dari Ibnu al-Madini yang diamini oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.

Tuduhan Orientalis dan Semi-Orientalis Terhadap Abu Hurairah ra. serta Otokritik

Abu Hurairah ra. seorang shaabat yang mulia pun tak luput dari fitnah para orientalis dan semi-orientalis. Sahabat yang paling banyak menghafal hadis Rasul saw. ini ingin digugurkan validitasnya oleh mereka. Maka, mereka saling bergantian dalam menghujat, mencemooh, bahkan melemparkan tuduhan yang tidak berdasar sama sekali. Tuduhan-tuduhan(syubhat) itu dapat dikumpulkan menjadi sekitar sepuluh buah oleh Ajaj Khatib dalam bukunya as-Sunnah Qabla al-Tadwin dan ‘Abu Hurairah Rawiyah al-Islam. Seperti Abu Hurairah dan banyaknya hadis yang ia riwayatkan, kenapa bukan Aisyah, istri Nabi saw.? Abu Hurairah dan pemalsuan hadis Nabi saw. Abu Hurairah dan pemihakan terhadap Syiah?(pendukung Ali ra.) Dan apakah betul para sahabat menganggap Abu Hurairah berbohong dan menolak beliau?

Kenapa Abu Hurairah ra. terkenal menjadi periwayat terbanyak, sedang masa bersinggungannya dengan Rasul hanya sebentar?

Di dalam bukunya ‘Abu Hurairah’, Abdul Husain Syaraf ad-Din menuduh dan menyatakan: "Ini merupakan studi kehidupan seorang sahabat yang meriwayatkan hadis dari Rasulullah saw. Lalu karena ia terlalu banyak meriwayatkannya hingga ‘berlebih-lebihan’. Darinya kemudian para perawi shahih meriwayatkan dalam seluruh musnad mereka. Namun dari mereka juga terlalu banyak meriwayatkan(darinya), sehingga berlebih-lebihan juga. Maka tak ada cara lain bagi kita dihadapan "sikap dualisme yang berlebih-lebihan ini", kecuali harus dicari asalnya karena secara langsung ia berkaitan dengan kehidupan keberagaman kita dan rasionalitas. Jika hal itu tidak kita lakukan, berarti kita telah melampaui batas dan melewatkan sumbernya kepada hal yang tidak penting bagi kita; yang mengganggu pemandangan kritis terhadapnya"(Ajaj Khatib:1982: 160)

Di sini kita melihat bahwa Abdul Husain menuduh Abu Hurairah sebagai orang yang terlalu berlebih-lebihan dalam meriwayatkan hadis Nabi saw. Memang dari sekian sahabat Abu Hurairahlah yang terbanyak meriwayatkan hadis. Sejak kehadirannya dari Yaman ke Madinah al-Munawwarah, beliau memang tidak pernah meninggalkan Nabi saw. Bahkan beliau memakan makanan yang dimakan oleh Nabi saw. Selang beberapa tahun saja, ia mampu menghafal sekitar 5.374 hadis Nabi saw. Namun, bukan berarti ia sembarangan dalam menghafal sekian banyak hadis tersebut. Setidaknya ada 5 faktor yang menyebabkan beliau mampu menghafal banyak hadis Nabi saw.:

1. Ia senantiasa mengikuti Nabi saw., baik ketika Rasul bepergian maupun ketika menetap(tidak keluar) dan Abu Hurairah tidak memiliki pekerjaan selain bergelut dengan Nabi saw. Sebuah riwayat dari Sa’ad bin al-Musayyab bahwa Abu Hurairah berkata:"Mereka mengatakan bahwa Abu Hurairah telah banyak meriwayatkan hadis, demi Allah, tunggulah saatnya. Mereka juga berkata:"Kenapa orang-orang Muhajirin dan Anshar tidak meriwayatkan hadis seperti hadis-hadis yang diriwayatkannya? Aku akan memberitahukan kepada kalian(kata Abu Hurairah). Para sahabatku dari kaum Anshar, mereka sibuk mengurusi tanah-tanah mereka, sedang sahabat-sahabatku dari kaum Muhajirin , mereka sibuk berdagang. Dan aku senantiasa menemani Nabi saw. untuk memenuhi perutku. Jadi aku dapat melihat jika mereka tidak berada dekat Nabi saw. dan aku hafal jika mereka lupa. Suatu ketika Nabi saw. bersabda: "Siapa diantara kalian yang merentangkan pakaiannya dan mengambil perkataanku ini kemudian dikumpulkannya di dadanya, maka ia tidak akan lupa selama-lamanya. Kemudian aku merentangkan ‘sorbanku’ sampai Rasulullah saw. selesai berkata-kata, lalu ku kumpulkan(aku taruh sorban itu) ke dadaku, sehingga aku tidak lupa sedikit pun perkataan yang diucapkan Nabi saw. kepadaku hari itu. Kalau bukan karena dua ayat yang diturunkan oleh Allah di dalam kitab-Nya, aku tidak akan menceritakan apapun selamanya,(yaitu ayat Quran) "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan(yang jelas dan petunjuk), setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknat. Kecuali mereka yang telah bertaubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan(kebencian), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Panerima taubat lagi Maha Penyayang".

2. Kecerdasannya, cintanya pada ilmu pengetahuan dan ketekunannya terhadap hadis. Abu Hurairah ra. memang diberikan kecerdasan alami oleh Allah Swt. Sehingga apa yang dihafalnya tidak lupa. Selain itu, beliau pernah berdoa agar ilmunya tidak mudah dilupakan. Ibnu Hajar dalam biografinya tentang Abu Hurairah ra. menyebutkan sebuah riwayat bahwa seorang laki-laki datang menghadap Zaid bin Tsabit ra. dan bertanya kepadanya. Zaid berkata kepadanya:"Datanglah engkau kepada Abu Hurairah". Aku,(kata Zaid), ketika berada dengan Abu Hurairah dan si fulan di dalam masjid untuk berdoa dan berdzikir kepada Allah, tiba-tiba datang kepada kami Rasulullah saw. Segera Ia duduk dengan kami. Kemudian kami berhenti sebentar. Lalu beliau bersabda:"Lanjutkanlah apa yang kalian lakukan tadi". Kemudian Zaid berkata:"Maka, aku dan kawanku itu berdoa dan Rasulullah saw. mengaminkannya." Kemudian Abu Hurairah ra. berdoa:"Ya Allah aku memohon kepada-Mu seperti apa yang dipinta oleh kedua kawanku tadi, dan aku memohon satu ilmu yang tidak dilupakan". Lalu Nabi bersabda:"Amin!" Lalu kami berkata:"Kami juga memohon ilmu yang tidak dilupakan". Nabi saw. bersabda:"Kalian telah didahului oleh ‘Anak Dusi ini’(yaitu Abu Hurairah yang berasal dari suku Dausi)

3. Abu Hurairah mengetahui banyak para sahabat senior, mengambil riwayat apa yang tidak sempat didengarnya dari Rasul saw. seperti yang dibahas dan disinggung di atas. Sehingga dia dapat merengkuh segala yang telah lalu darinya, selain juga meluaskan khazanah riwayatnya.

4. Abu Hurairah ra. memiliki usia yang panjang setelah wafatnya Nabi saw. selama sekitar 47 tahun. Selama itu pula ia menyebarkan hadis kepada manusia, dan tidak ada kegiatan apapun yang menghalanginya. Dan orang-orang bersaksi ketika ia menyebarkan hadis kepada mereka setelah wafatnya Nabi saw. bahwa ia memang mendengarnya dari Nabi saw. atas apa yang mereka tidak dengar. Dari Malik bin Abu Amir ia berkata: "Seorang laki-laki datang menemui Thalhah bin Ubaidillah, lalu berkata:"Hai Abu Muhammad, bagaimana menurutmu si Yaman ini(maksudnya Abu Hurairah), dia lebih tahu tentang hadis Rasulullah dari kalian? Kami mendengar dari mereka apa yang tidak kami dengar dari kalian , atau dia berkata-kata atas nama Rasulullah saw. dengan apa yang tidak dikatakannya. Lalu Thalhah berkata:"Bisa jadi ia mendengar dari Rasulullah saw. apa yang tidak kami(kita) dengar, maka aku tidak meragukannya. Memang dia telah mendengar dari Rasulullah saw. apa yang tidak kami dengar. Karena dia itu miskin, tidak punya apa-apa, tamu Rasulullah saw., tangannya bersama Rasulullah, sedang kami adalah orang-orang yang memiliki rumah juga kaya. Dan kami mendatangi Rasulullah di akhir hari(sore) saja, maka tidak diragukan dia telah mendengar dari Rasulullah apa yang tidak kami dengar. Dan kami tidak menemukan seseorang yang memiliki kebaikan mengatakan atas nama Rasulullah apa yang tidak beliau katakan".

Menurut Abu Isa at-Tirmidzi ini adalah hadis hasan gharib, kita tidak mengetahuinya kecuali lewat jalur hadis Muhammad bin Ishak. Hadis ini juga telah dikeluarkan oleh Imam al-Hakim, dan dia berkomentar bahwa hadis ini adalah shahih berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Imam Dzahabi berkata:"hadis ini shahih berdasar syarat Muslim."

Masalah yang sangat menonjol memang dari diri Abu Hurairah ra. adalah kekuatan hafalan dan daya ingatnya. Dalam sebuah riwayat juga disebutkan bahwa ketika ia baru memeluk Islam hafalannya tidak begitu baik. Kemudian ia mengadukannya kepada Rasulullah. Nabi saw. pun bersabda padanya:"Iftah kisa’aka fabaasithhu"(buka pakaianmu dan rentangkanlah). Kemudian Nabi saw. berkata lagi kepadanya:"Dhummahu ila shadrika"(Lalu dekaplah pakaian itu). Kemudian ia mendekap pakaiannya tersebut. Setelah itu ia tidak lupa satu hadispun.

Kisah merentangkan pakaian tersebut banyak dikeluarkan oleh para Imam hadis seperti Bukhari, Muslim, Imam Ahmad, an-Nasa’i, Abu Ya’la al-Musoli dan Abu Nu’aim dalam Hilliyah Auliya’-nya. Dan klaim Goldziher bahwa kisah tersebut ‘palsu’ yang dibuat oleh orang awam sebagai legitimasi atas banyaknya hadis Abu Hurairah ra. merupakan ‘rekaan belaka’, ‘takhayul’, yang tidak dapat diterima oleh ilmu dan fanatisme yang ‘diwahyukan’ oleh ‘kelaliman Yahudi’ terhadap seorang sahabat besar; yang banyak meriwayatkan hadis Rasulullah saw. Saya tidak tahu, kata Dr. as-Sibai, apa dalil-dalil ilmiahnya yang menyatakan bahwa kisah-kisah tersebut dibuat-buat. Apakah dia menemukan teks-teks historis yang mendukung klaim tersebut, sampai dia mendustakan para Imam Hadis yang menukil(meriwayatkan) kisah tersebut dan men-tsiqah-kan para rawinya?(as-Siba’i:36)

Padahal para sahabat dan tabi’in telah mengakui keunggulan Abu Hurairah ra., sebagaimana riwayat pengakuan Thalhah tadi. Selain itu Ibnu Umar ra. menyatakan:"Abu Hurairah khairun minni wa a’lamu bimaa yuhadditsu"(Abu Hurairah lebih baik dan lebih tahu dari aku tentang apa yang dia katakan(hadis))

Imam Syafi’i berkomentar:"Abu Hurairah ahfazhu man rawa’l-haditsa fi dahrihi"(Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal diantara orang-orang yang meriwayatkan hadis di zamannya). Imam Bukhari pun mengakui bahwa dia (Abu Hurairah) adalah orang yang paling hafal diantara orang-orang yang meriwayatkan hadis di masanya. Pengakuan serupa datang dari al Hakim(pemilik al-Mustadrak ‘Ala Shahihain), Abu Sa’ad bin Abu al-Hasan al-Bashri(saudara Hasan al-Bashri, tabi’in masyhur) dan Ibnu Hajar(pemilik Fath al-Bari ) yang setelah memaparkan kisah perentangan pakaian tadi berkata:"Wa al-haditsu al-madzkuru min ‘alamati an-Nubuwwah, fainna Aba Hurairah kana ahfazha an-nasi li’lahaadits an-Nabawiyyah fi ‘ashrihi"(Hadis itu merupakan salah satu ciri kenabian. Abu Hurairah adalah orang yang paling hafal terhadap hadis-hadis Nabi saw.)

5. Tidak diragukan bahwa kelebihan yang dikaruniakan kepada mereka kaum Arab adalah kekuatan hafalannya. Begitu juga dengan Abu Hurairah ra. dan sahabat lain. Bagaimana Aisyah mampu menghafal banyak syair Arab Jahiliyyah yang begitu banyak. Bagaimana Abu Bakar ra. mampu menghafal nasab keturunan nenek moyangnya. Lalu bagaimana dengan kekuatan hafalan Ibnu Abbas ra.(Hibr al-Ummah), penafsir Quran yang handal itu. Saya(penulis) teringat dengan kuliah beberapa waktu yang lalu ketika Dr. Thaha Khulwah(dosen mata kuliah ilmu riwayat wa Jarh wa Ta’dil) menceritakan tentang gurunya, seorang ulama Azhar sekitar tahun 1960-an, yaitu Syekh Ali Ahmadain yang mengarang kitab Dhui’ al-Qamar ‘Ala Nukhbah al-Fikr(sebuah komentar atas kitab teori Musthalah Hadis-nya Ibnu Hajar). Ia mampu menghafal seluruh nama muridnya yang berjumlah sekitar 130-an dalam kelas kuliahnya. Nama-nama mereka beliau hafal dalam perjumpaan kelas pertama awal kuliah.

Maka, apa yang diklaim oleh Goldziher sebenarnya klaim yang berasal dari hati yang busuk dan tidak memiliki dasar. Sehingga ia melontarkan hal yang bukan-bukan kepada para tokoh ahli hadis seperti Abu Hurairah ra., Imam az-Zuhri, Imam Bukhari, Muslim, , juga Imam Ahmad. Seandainya usahanya ini berhasil mendapat respon besar dari umat Islam, maka gugurlah seluruh validitas para Imam besar tersebut. Pada gilirannya, seluruh riwayat yang berasal dari para Imam tersebut layak untuk diragukan dan dipertanyakan. Tapi nyatanya tidak demikian. Sebab dasar Goldziher merupakan tujuan tendensius untuk menghancurkan Islam, maka usahanya berakhir amburadul.

Abu Hurairah ra. tidak menulis hadis?

Tema ini adalah kesekian tema dari apa yang dilontarkan oleh para orientalis. Juga termasuk dari 5 tuduhan yang dilontarkan oleh Ahmad Amin dalam bukunya Fajr al-Islam kepada Abu Hurairah.ra., 5 tuduhan tersebut adalah; Pertama, sebagian sahabat-seperti Ibnu abbas dan aisyah-menolak hadisnya dan mendustakannya. Kedua, dia tidak menulis hadis. Ketiga, dia tidak hanya meriwayatkan dari apa yang ia dengar dari Rasul saw., namun ia juga meriwayatkan dari selain Nabi. Keempat, sebagian sahabat banyak mengkritik dan meragukan kejujurannya. Kelima, mazhab Hanafi(al-Hanafiyah) meninggalkan hadis yang diriwayatkannya jika berkontradiksi dengan qiyas(analogi). Keeenam, para penulis hadis palsu memanfaatkan banyaknya periwayatan hadis Abu Hurairah, kemudian mereka berkata dusta terhadapnya melalui banyak hadis yang tak terhitung jumlahnya. Namun kita hanya akan menaggapi tema yang kedua seputar Abu Hurairah dan penulisan hadis. Tema ini juga akan menjawab pertanyaan kenapa ia tidak pernah diriwayatkan sebagai sekretaris Nabi saw.

Awal problem ini muncul dari riwayat Abu Hurairah, dimana ia berkata: "Tidak ada seorangpun yang mengetahui hadis Nabi saw. yang kuriwayatkan, kecuali orang yang menerima hadis dari Abdullah bin Amr, sebab ia menulis dengan tangannya sendiri dan menghafalnya, sedang saya hanya menghafal saja dan tidak menulis".(Musnad Imam Ahmad:2:403, Shahih al-Bukhari:kitab al-‘ilm:39). Abdullah bin Amr juga mengatakan bahwa Abu Hurairah tidak menyimpan buku-buku hadis dan juga tidak menulisnya.

Tetapi pada masa-masa belakangan Abu Hurairah menuturkan bahwa beliau mempunyai kitab-kitab Hadis. Seperti dalam riwayat kisah yang diriwayatkan oleh al-Fadhl bin Amr bin Umayyah al-Dhamri, ia diberitahu ayahnya; kata ayahnya, "Saya membicarakan suatu hadis dengan Abu Hurairah, tetapi Abu Hurairah memungkiri hadis itu. Saya katakan hadis ini saya dengar dari anda. Jawab Abu Hurairah, "Bila kamu mendengarnya dari saya pasti hal itu tertulis dalam kitabku". Lalu beliau memegang tanganku dan menarikku menuju kamarnya, sayapun ditunjukkan kitab-kitab yang banyak jumlahnya yang berisi hadis-hadis rasulullah saw.. Dan ternyata benar. Hadis tersebut ternyata ditemui dalam kitabnya. Lalu beliau berkata lagi, "Sudah saya katakan, saya pernah menyampaikan hadis itu kepadamu, maka hal itu akan terdapat(tertulis) di sini". Tetapi Imam Dzahabi dan Ibnu Abd- al-Barr membantah keshahihan riwayat ini. Sebab bertentangan dengan riwayat di atas dan hanya Abdulah bin Amr yang menulis hadis. Dan menurut para ahli hadis, riwayat yang pertama tentang tidak menulisnya Abu Hurairah lebih shahih. (Jami al Bayan:1:74), Fath al-Bari:1"215 dikutip MM A’zami:1980:138).

Sebenarnya tidak ada kontradiksi antara dua riwayat tersebut, tetapi dapat dikompromikan. Sebab Abdullah bin Amr menulis hadis di hadapan Nabi saw. semasa hidupnya, sedang Abu Hurairah pada saat itu tidak menulis hadis. Maka mungkin sekali Abu Hurairah menulis hadis pada masa belakangan kemudian disimpannya.(Ibid., 138). Pendapat ini juga dikuatkan dengan banyaknya shahifah(manuskrip tertulis) yang disandarkan pada Abu Hurairah atau orang-orang yang menulis hadis dari beliau, seperti Abu Shalih bin Samman yang kemudian naskahnya disalin oleh al-‘Amasy(tabiin masyhur), Basyir bin Nahik, Muhammad bin Sirin(tabi’in)dan manuskrip Hammam bin Munabbih yang telah disinggung di atas.

Adapun bantahan yang diajukan oleh Musthafa as-siba’I, bahwa sebagian ulama lebih mengutamakan riwayat yang seorang rawi menghafalnya tetapi tsiqah dan benar daripada riwayat yang tertulis tapi penuh dengan kesalahan. Hingga ulama Ushul fikih pun jika mendapati dua dalil atau dua hadis yang bertentangan: satunya riwayat yang didengar(masmu’) dan yang lain maktub(tertulis), maka yang masmu’-lah yang lebih dirajihkan. Sebagimana Imam Amidi dalam Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Ditambahkannya, bahwa apa yang dilontarkan oleh semi-orientalis Ahmad Amin dan para orientalis lainnya seperti Schacht dan Goldziher dalam masalah ini adalah purbasangka yang tidak berargumen kuat.(as-Sibai:270-271)

Kongklusinya, Abu Hurairah lebih mengutamakan hafalan dalam periwayatannya pada masa Nabi dan memungkinkan besar beliau untuk menuliskannya pada masa-masa belakangan setelah Quran dikodifikasikan. Demikian tesis yang diajukan Prof. A'zami. Sebab seperti yang kita ketahui, ia pergi berdakwah keluar Madinah sepeninggal Nabi, menyebarkan Islam, mau tidak mau kemungkinan besar di sini ia akan menuliskan hadis kepada orang atau orang menulis hadis darinya.

Dan dia tidaklah menjadi sekretaris Nabi, seperti para penulis wahyu lainnya. Sebab tidak ada riwayat dalam hal itu, melainkan riwayat yang menjelaskannya sebagai pelayan(khadim) Rasul. Para penulis wahyu atau sekretaris Nabi seperti Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Rawahah, Abu Hudhaifah, Ubay bin Ka’ab, dll. sekitar 50 sahabat, satupun tidak tergolongkan ke dalam periwayat hadis terbanyak sebagaimana Abu Hurairah ra., Aisyah ra., Anas bin Malik, dan Abdullah bin Umar. Malah Ibnu Abbas ra.(shighar shahabat, sahabat muda) yang juga tidak menjadi sekretaris Nabi tapi menjadi sahabat yang banyak meriwayatkan hadis sebab persinggungannya yang luas dengan para sahabat yang tua atau besar. Maka, seorang sahabat yang menjadi sekretaris Nabi tidak mengharuskannya sekaligus untuk menjadi periwayat hadis yang banyak. (Untuk jelasnya lihat, MM. A’zami, The History of Quranic Text, From Relevation To Compilation. A Comparatine Study with the Old and New Testament, terjemah dan diterbitkan oleh GIP, 2005)

Menjadi pembantu Nabi lebih memungkinkan bagi Abu Hurairah untuk memperoleh riwayat hadis yang banyak. Baik itu dari para istri Nabi, terutama Aisyah dan para sahabat lain yang beliau temui bersama Nabi saw. Sampai Aisyah pun menyuruh orang dalam suatu riwayat untuk menanyakan suatu masalah yang ia tidak menahu tentangnya pada Abu Hurairah selain itu juga banyak membenar-kuatkan riwayat darinya.

Kelebihan beliau ini juga tidaklah terkontaminasi oleh unsur dan permainan sosio-politik. Sebab sebagaimana yang kita ketahui dari riwayat, bahwa ketika fitnah politik pada masa Usman bin affan ra. dan Ali ra., Abu Hurairah menjauh dari peristiwa tersebut dengan malah berdiam di rumah Usman, mengasuh anak beliau yang masih kecil. Anak beliau inilah nantinya yang mengantar jenazah Abu Hurairah menuju pemakamannya di Baqi’, Madinah. Mungkin sebelumnya ia telah mengetahui hadis dari Nabi saw. yang berbunyi:"Satakunu fitan, al-qa’id fiiha khairun min al-qa’im"(akan datang fitnah pecah belah itu, ia yang duduk berdiam lebih baik dari mereka yang berbaur didalamnya). (Ajaj Khatib:418 menukil riwayat dari Siyar A’lam Nubala Imam Dzahabi:2:441))

Epilog.

Demikian sedikit ulasan dan pembacaan penulis terhadap Abu Hurairah ra. dan sekitar problematika yang dilontarkan mereka para orientalis dan murid-muridnya seputarnya. Tema-tema lain seputarnya mungkin bisa dibahas di lain kesempatan. Sebab kita mau ujian semesteran. Maka kritik dan saran sangat dinanti, hingga konstruksi tulisan ini lebih kuat dan lebih kaya lagi. WallAhu a’lam bi al-Shawwab.

Mukhlis, Etudiant Indonesien de Azhar-Caire

Faculte de Theologie

Tradition et ses Connaissances

1O Macam Kesalahan (atau dagelan) Konyol Orientalis Dalam Studi Hadist (Bag II)

Keempat: Salah rujukan pengarang kitab.

Ignaz Goldziher dalam bukunya History of Classical Arabic Literature, halaman 31[1] menerangkan bahawa di zaman pemerintah Dinasti Umayyah, tidak ada hadis-hadis yang menyentuh hukum-hukum Islam, tetapi hanya sekadar yang berkaitan dengan akhlak, zuhud, akhirat dan politik. Dari penemuan ini Goldziher cuba mengisyaratkan bahawa hadis-hadis hukum tidak wujud di kurun pertama Islam.

Akan tetapi sayang sekali rumusan di atas dibuat oleh Golziher berdasarkan bukuKitab az-Zuhud karangan Asad bin Musa yang hidup di zaman Dinasti Abasiyyah. Beliau lahir pada tahun 132H dan meninggal pada tahun 212H. Kita tidak menolak kebolehan merujuk kepada kitab-kitab yang dihasilkan selepas zaman subjek yang ditulis, tetapi apabila rujukan digunakan untuk membuat tuduhan dan kritikan, maka adalah amat tidak tepat lagi tidak adil untuk merujuk kepada hasil kajian yang ditulis selepas zaman subjek yang dikritik. Apatah lagi sedia diketahui bahawa antara para pendukung Umayyah dan Abasiyyah sedia wujud konflik politik dan keinginan merampas kuasa. Maka adalah tidak menghairankan apabila hasil karya penulis di zaman Abasiyyah mengenai zaman Umayyah tidak mengandungi sebarang kebaikan kecuali yang negatif dan buruk.

Arus sebegini adalah satu kebiasaan di kalangan rujukan-rujukan yang dipilih oleh kalangan sarjana orientalis. Mereka cenderung memilih rujukan daripada penulis yang sedia diketahui berkonflik dengan subjek yang ia tulis. Tidak diketahui sama ada tindakan ini disengajakan oleh mereka atau tidak, tetapi yang pasti ia sering berlaku. Antara contoh lain ialah merujuk hasil karya penulis Syiah di zaman Umayyah padahal sedia diketahui wujudnya beberapa konflik antara kaum Syiah dan sebahagian pemimpin Umayyah di ketika itu. Oleh itu pasti sahaja ia mengandungi pelbagai kritikan negatif terhadap pola pimpinan Umayyah – khususnya kegiatan ilmiah dan agama di ketika itu. Tidak dikatakan bahawa semua penulis Syiah bersikap demikian - bahkan mungkin segelintir sahaja - tetapi bukankah merupakan satu penyelewengan ilmiah untuk membuat kajian di zaman Umayyah tanpa merujuk kepada sumber-sumber penulisan Umayyah itu sendiri ?

Kelima: Menafikan kebenaran kitab.

Telah dinyatakan sebelum ini akan sikap sarjana-sarjana hadis orientalis yang cenderung memilih sumber rujukan dan kitab dari para penulis yang sedia berkonflik dengan subjek yang ditulisnya, maka berikut akan ditunjukkan pula sikap mereka yang menafikan kebenaran sesebuah kitab - apabila kitab tersebut menentang arus kajian mereka.

Juynboll dalam bukunya Muslim Tradition[1] telah menganalisa beberapa kajian yang dilakukan oleh beberapa sarjana terhadap manuskript-manuskript awal tulisan hadis, termasuk dari kalangan orientalis, lalu menulis:

Sezgin’s epochal work presents a new approach. Where Goldziher’s and Schacht’s findings amounted virtually to denying the ascription of the bulk of hadis literature to its alleged originators (the prophet, his Companions, or even later authorities) as authentic, Sezgin appears to be a great deal less sceptical. His main thesis that the writing down of hadis as well as other material started almost immediately after the death of the prophet and continued virtually uninterrupted during the first three centuries of Islamic history, and this on an increasing and ever more sophisticated scale, has raised little doubt as far as I know. And Azmi, in his study referred to above, arrived quite independently at more or less the same conclusion. But unearthing and cataloguing material, as Segzin has done, is something altogether different from establishing its authenticity.

By that I mean establishing whether the material ascribed to certain early authorities is in actual fact, theirs or whether it originated with later authorities who, for variety of reasons, wanted it to appear older and, therefore, projected it back artificially onto older and thus more awe-inspiring authorities. Apart from a few isolated cases in which Segzin questions the authenticity of certain texts, he presents the bulk of them as if he has no qualms as to their genuineness. Something which always struck me in work of Sezgin, Azmi, and also in that of Abbott – to which I shall turn in a moment – is that they do not seem do realize that, even if a manuscript or a papyrus is unearthed with an allegedly ancient text, this text could very easily have been forged by an authority who lived at a time later than supposedly older authority given in its isnad.

Fu’ad Sezgin, Nadia Abbott dan Mustafa Azami adalah 3 orang sarjana yang telah mengkaji dan menyelidik sejarah penulis hadis dari sumber-sumber manuskript dan palpa dan berjaya membuktikan bahawa penulisan hadis-hadis telah bermula sejak dari saat-saat awal kewafatan Nabi sallallahu-alaihi-wasallam dan ianya berterusan dan makin berkembang tanpa sebarang halangan atau perhentian. Akan tetapi Juynboll meragui hasil penemuan mereka atas alasan bahawa kononnya manuskript-manuskript dan palpa-palpa tersebut kemungkinan besar telah ditulis oleh pihak di masa terkemudian lalu disandarkan kepada zaman selepas kewafatan Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam.

Kita berasa aneh bagaimana seorang sarjana seperti Juynboll boleh membuat kesimpulan yang sebegitu rendah nilainya. Kita mungkin dapat menerima dan membuka semula hasil kajian seandainya kesimpulan yang dikemukakan oleh Juynboll adalah hasil dari kajian dan penyelidikan semula beliau ke atas manuskript-manuskript dan palpa-palpa tersebut. Tetapi nampaknya Juynboll hanya membuat andaian - atau lebih tepat tuduhan - tanpa sebarang penyelidikan atau kajian. Jika Juynboll mahu kita menerima kesimpulannya tersebut, maka apakah yang menghalang kita dari membuat kesimpulan bahawa bukuMuslim Tradition tersebut asalnya adalah esei-esei sejarah Islam yang ditulis oleh beberapa orang penuntut tahun pertama sebuah kolej pengajian tinggi, lalu ia ditemui oleh Juynboll dan terus dihimpun, diedit, dibuku dan diterbitkan di bawah namanya sendiri ?

[1] Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadis, pg 4.

Keenam: Salah menterjemahan teks Arab.

Antara kelaziman para sarjana orientalis adalah keliru dan tersilap dalam menterjemah teks-teks Arab yang mereka rujuk. Hal ini memang sukar dielakkan kerana teks Arab klasik adalah jauh berbeza dengan teks Arab masa kini. Oleh itu seseorang yang boleh membaca akhbar Arab masa kini tidak semestinya dapat membaca dan menguasai penuh kitab-kitab klasik yang dirujukinya. Malah kita juga dapati orang-orang Arab sendiri mendalami bidang bahasa Arab sehingga ke tahap ijazah atau kedoktoran sebelum dapat menguasai sepenuhnya kitab-kitab Arab klasik. Bernard G. Weiss, dalam pendahuluan bukunya yang berjudul The Search for God’s Law[1] telah menulis: It is the result of years of grappling with difficult Arabic text ......... How can one express in English the ideas of a medieval author who wrote in a very specialized kind of classical Arabic ? Obviously, the lexical repertoire available to me is vastly different from that employed by Amidi.

Justeru sememangnya adalah satu kelaziman berlakunya kesilapan dan kekeliruan terjemahan dan tafsiran teks Arab dalam hasil kajian orientalis terhadap sumber-sumber klasik Islam. Malah kadang-kadang kesilapan mereka adalah terhadap sesuatu perkataan yang amat mudah. Joseph Schacht umpamanya, tidak dapat membezakan antara perkataansunnah dengan sunat !

Ketika cuba membuktikan bahawa umat di kurun kedua hijrah telah melaksanakan hukum-hukum dan ibadah secara sendiri-sendiri tanpa merujuk kepada sunnah Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam, Joseph Schacht telah menganalisa kata-kata Ali bin Abi Talib ini:

Solatlah sempena Hari ‘Aid (Hari Raya-P) di masjid 4 rakaat: dua rakaat sunat dan dua rakaat kerana tidak dilakukan di luar masjid [2]……. lalu terus dirumuskan bahawa mendirikan solat dua rakaat sempena Hari Raya adalah satu sunnah kebiasaan umat Islam di Iraq tanpa disandarkan kepada hadis atau riwayat Rasulullah.[3] Padahal yang dimaksudkan oleh Ali dalam kenyataan di atas adalah solat sunat dua rakaat sempena Hari Raya, sama ada Hari Raya Aidil Fitri atau Hari Raya Aidil ‘Adha. Sunat di sini adalah salah satu dari hukum Islam yang lima: wajib, haram, sunat, makruh dan harus, dan ia bermaksud solat dua rakaat Hari Raya adalah tidak wajib hukumnya. Ia tidak bermaksud sunnah dalam ertikata percakapan dan perbuatan Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam atau sunnah dalam ertikata kebiasaan perbuatan sesebuah komuniti.

Tambahan dua rakaat yang dimaksudkan oleh Ali radiallahu-anhu ialah solat sunat mutlak yang biasa dikerjakan oleh para sahabat sejak zaman Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam di masjid sebelum atau selepas mereka mendirikan solat sunat Hari Raya di padang. Di kalangan sahabat ada yang mengerjakan sebelum dan selepas, ada yang sebelum sahaja, ada yang selepas sahaja dan ada yang tidak langsung. Pelaksanaan solat ini adalah bebas mengikut kecenderungan masing-masing.[4]

Perkara kedua adalah – tidak perlu timbul sama ada perlaksanaan solat Hari Raya adalah berdasarkan hadis atau tidak, kerana ia sejak dari awal telah dilakukan oleh Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam 2 kali setahun, dan setiapnya disertai ratusan umat lelaki dan perempuan, tua dan muda. Justeru ia adalah satu perkara yang sangat dikenali oleh semua lapisan umat sehingga ke hari ini. Hanya Schacht yang tidak mengetahuinya, lalu dia menuduh ia adalah satu kebiasaan komuniti Iraq sahaja !

Sengaja atau tidak sengaja, kesilapan di atas bersama kesimpulan hujah yang mengikutinya cukup untuk meragukan kita terhadap pelbagai lagi rumusan yang dikemukakan oleh Schacht dan mana-mana rakan seperjuangannya yang lain. Apatah lagi di dalam buku mereka masing-masing, teks Arab yang sebenar tidak dikemukakan, hanya terjemahan yang mereka lakukan sendiri dan kesimpulan dari hasil terjemahan tersebut.



[1] The Search of God’s Law: Islamic Jurisprudence in The Writings of Sayf al-Din al-Amidi, pg xix (bhg muqaddimah).

[2] Muhammad bin Idris as-Shafi’i – al-Umm, jld 7, ms 167.

[3] The Origins of Muhammadan Jurisprudence, pg 73.

[4] Lihat al-Umm, jld 1, ms 234 dan seterusnya, Bab Solat Sebelum Solat Hari Raya dan Sesudahnya.

Kamis, 16 Februari 2012

6 Hadist Lemah Tentang Menuntut Ilmu

Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi*

Ilmu bagaikan cahaya penerang, terutama bagi siapa saja yang memilikinya. Oleh karena itu menuntut ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, sampai-sampai Allah swt berjanji akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu (QS. 59: 11). Al-Baghawi dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat tersebut menerangkan bahwa orang-orang yang beriman akan diangkat derajatnya karena keutamaan ilmu mereka (Ma’alim al-Tanzil, vol. VIII, hal. 58). Bahkan Syaikh Yusuf Qaradhawi membuat satu bab khusus tentang prioritas ilmu atas amal (awlawiyah al-‘ilmi ‘ala al-‘amal) (Fiqh al-Awlawiyat, hal. 49). Ibnu ‘Abd al-Barr (w. 463 H), seorang ulama yang berasal dari Andalusia juga menyusun kitab khusus yang membahas tentang hakikat dan keutamaan menuntut ilmu. Beliau memberi nama kitabnya dengan nama Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi. Tidak hanya Syaikh Yusuf Qaradhawi dan Ibnu ‘Abd al-Barr yang memberikan semacam perhatian khusus tentang keutamaan ilmu dan menuntut ilmu, ulama lain juga banyak yang memberikan perhatian khusus. Diantaranya adalah penulis buku best seller, La Tahzan, Dr. ‘Aidh al-Qarni dengan judul kitabnya Kayfa Tathlubu al-‘Ilmi dan Dr. Anas Ahmad Karzun dengan kitabnya yang berjudul Adabu Thalib al-‘Ilmi. Kedua buku tersebut telah diterbitkan ke dalam bahasa Indonesia.

Selain al-Qur’an, al-Sunnah juga menerangkan tentang keutamaan menuntut ilmu dan kemulian orang yang berilmu. Namun tidak seperti al-Qur’an yang mutawatir, al-Sunnah banyak riwayat yang lemah (dha’if) yang disandarkan kepada Nabi, bahkan ada sebagian yang palsu (maudhu’). Penyebab munculnya hadis palsu di antaranya adalah sikap fanatik (ta’asshub) terhadap suatu golongan, bahasa, madzhab, atau negeri (Maqayis Naqd Mutun al-Sunnah, hal. 34). Sehingga terkadang muncul hadis-hadis yang mengindikasikan tentang kefanatikan perawi terhadap suatu madzhab yang dipegangnya, golongan atau bahasa tertentu, atau suatu negeri khusus yang disebutkan oleh perawi. Selain itu, ulama hadis juga telah menetapkan beberapa kaidah untuk menetapkan ke-maudhu’-an (kepalsuan) suatu hadis. Salah satu kaidahnya ialah apabila suatu hadis di dalamnya memuat ancaman keras terhadap hal sepele, atau janji besar terhadap perkara ringan (Subhi Shalih, Ulum al-Hadits wa Musthalahuh).

Di dalam tulisan ini ada beberapa hadis lemah (dha’if) dan bahkan sebagian di nyatakan palsu (maudhu’) oleh para ulama hadis, yang sering di sampaikan oleh para mubaligh atau sering dijumpai dalam masyarakat.

Hadis Dha’if Tentang Keutamaan Menuntut Ilmu

1. Menuntut ilmu sekalipun sampai ke negeri China

اطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّين حدثنا أَبُو عَاتِكَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Atikah, dari Anas bin Malik, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Tuntutlah ilmu sekalipun di negeri China”.

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Sya’bu al-Iman (vol. III, no. 1543) dan al-Madkhal (vol. I, no. 243), al-Bazzar dalam kitab Musnad (vol. I, no. 95), al-Rubai’ dalam Musnad-nya (no. 18) dalam Bab fi al-‘Ilmi wa Thalabihi wa Fadlihi, Abu Nu’aim al-Ashbahani dalam Akhbar Ashbahan (vol. VII, hal. 376), Ibnu ‘Abd al-Barr dalam Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi (vol. I, no. 15 & 16, hal. 25-26), Ibnu ‘Addi dan al-‘Uqaili sebagaimana dinukil oleh al-Suyuthi dalam kitabnya al-Âlî al-Masnu’ah bab Kitab al-‘Ilmi (vol. I, hal. 175) . Mereka semua meriwayatkan dari Abu ‘Atikah melalui jalur Anas bin Malik secara marfu’.

Kedha’ifan hadis ini terletak pada perawi yang bernama Tharif bin Sulaiman Abu ‘Atikah al-Bashari atau al-Kuffi (al-Dhu’afa wa al-Matrukin li Ibn al-Jauzi, vol. II, hal. 63). Menurut an-Nasai dalam kitabnya al-Dhu’afa wa al-Matrukin, ia bukanlah orang yang tsiqah (laysa bi tsiqoh) (vol.I, hal. 198), al-Bukhari mengatakan bahwa ia seorang munkar al-hadits (Tahdzib al-Tahdzib, vol. XII, hal. 127). Selain itu Ibnu Abi Hatim dalam al-Jarh wa al-Ta’dil mengatakan bahwa ia adalah dzahib al-hadits dan dha’if al-hadits (vol. IV, hal. 494). Para kritikus hadis juga telah mendla’ifkannya dalam kitab-kitab mereka; seperti Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Lisan al-Mizan (vol. VII, hal. 251), al-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal (vol. II, hal. 335), al-‘Uqaili dalam Dhu’afa al-‘Uqaili (vol. II, hal. 230).

Sesungguhnya para mukharrij mencantumkan hadis ini dalam kitab-kitab mereka dengan tambahan lafal di belakangnya: فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ. Namun yang sering disampaikan oleh para mubaligh atau sering dijumpai hanya sepenggal saja tanpa tambahan lafal tersebut setelahnya.

Walaupun dari segi sanad hadis ini dha’if, namun bila dilihat dari segi matan nampaknya perspektif Syaikh Abdul Aziz bin Baz sangat baik dalam menjelaskan kandungan matan hadis ini. Beliau berkata: “Seandainya hadis ini shahih, maka tidaklah menunjukkan tentang keutamaan negeri China dan penduduknya, karena maksud hadis ini - kalaulah memang shahih - adalah anjuran untuk menuntut ilmu sekalipun harus menempuh perjalanan yang sangat jauh, sebab menuntut ilmu merupakan perkara yang sangat penting sekali, karena ilmu merupakan sebab kebaikan dunia dan akhirat bagi orang yang mengamalkannya. Jadi, bukanlah maksud hadis ini adalah negeri China itu sendiri, tetapi karena China adalah negeri yang jauh dari tanah Arab, maka Nabi saw menjadikannya sebagai permisalan. Hal ini sangat jelas sekali bagi orang yang mau memperhatikan hadis ini” (al-Tuhfah al- Karimah fi Bayani Ba’dhi Ahadits Maudhu’ah wa Saqimah, hal. 60)

2. Kewajiban menuntut ilmu bagi muslim dan muslimah

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ

Artinya: “Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim dan muslimah”.

Hadis ini asalnya tidak ada tambahan lafal “wa muslimatin” . Namun yang populer di kalangan masyarakat adalah matan hadis yang disertai dengan tambahan lafal tersebut. Hal ini dikuatkan oleh statement Imam al-Sakhawi dalam kitabnya al-Maqashid al-Hasanah. Beliau berujar “Sebagian penulis telah memasukkan hadis ini dengan tambahan وَمُسْلِمَةٍ, padahal tidak disebutkan dalam berbagai jalur hadis sedikitpun” (al-Maqashid al-Hasanah, hal. 442).

Bila matan hadis yang disertai dengan tambahan “wa muslimatin” itu tidak ada sumbernya, maka matan hadis yang tidak ada tambahan lafal tersebut sangat banyak jalurnya. Sebagian riwayat, seperti yang di-takhrij oleh Abu Ya’la dalam Musnad-nya (vol. V, no. 2837) dan al-Bazzar dalam Musnad (vol. II, no. 6746) yang melalui jalur Anas bin Malik sanadnya didha’ifkan oleh Husain Salim Asad ketika mentahqiq kitab Musnad Abi Ya’la (Musnad Abi Ya’la, vol. V, no. 2837) karena di dalamnya terdapat Hafsh bin Sulaiman al-Asadi yang mendapat jarh (celaan) dari para kritikus hadis (al-Dhu’afa wa al-Matrukin li Ibn al-Jauzi, vol. I, hal. 221, Tahdzib al-Tahdzib, vol.1, hal. 172, dan al-Majruhin, vol. I hal, 255), kemudian riwayat dari Abu Ya’la juga dalam Musnad-nya (vol. V, no. 2903) yang di dalamnya terdapat seorang perawi dari penduduk Syam yang tidak diketahui identitasnya (majhul).

Namun perlu diketahui bahwa jalur hadis yang banyak bisa saling mengangkat derajat suatu hadis yang dha’if menjadi hasan (hasan lighairih) dengan syarat di dalam sanad hadis tersebut tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta dan hadisnya tidak syadz (tidak bertentangan dengan hadis yang lebih shahih) (Manhaj al-Naqd, hal. 268). Hal ini juga kiranya yang membuat ahli hadis kontemporer sekelas Nashirudin al-Albani menilai hadis ini sebagai hadis hasan karena menurutnya, ke-dha’ifan hadis ini tidak terlalu parah dan jalur hadisnya sangat banyak sehingga bisa menguatkan satu sama lain (Silsilah al-Ahaditsah al-Dha’ifah, hal. 604).

Riwayat yang lain dari berbagai jalur diantaranya terdapat dalam Sya’bu al-Iman (vol. III, no. 1545), Ittihaf al-Khoyrah (vol. I, no. 261), al-Mu’jam al-Awsath (vol. I, no. 9, vol. III, no. 2462, vol. VIII, no. 8381, no. 8567 dan no. 8833), al-Mu’jam al-Shaghir (vol. I, no.22 dan no. 61), al-Mu’jam al-Kabir (vol. X, no. 10439), Musnad al-Syamiyyin (vol. III, no. 2084 dan vol. IV, no. 3375), Musnad al-Syihab (vol. I, no. 174 dan 175), Amali Ibn Basyran (vol. I, no.245), Amali Ibn Sama’un (vol. I, no. 23), Amali al-Baghindi (vol. I, no. 18), al-Fawaid karya al-Ashbahani (vol. I, no. 14), Gharaib Malik Ibn Anas (vol. I, no. 176), ‘Awali al-Imam Abi Hanifah (vol. I, no. 41), Masyikhah al-Abnusi (vol. I, no. 154), Mu’jam Abi Ya’la (vol. I, no. 154), Mu’jam Asami (vol. II, no. 397), Mu’jam Ibn al-‘Arabi (vol. I, no. 304, vol. IV, no. 1786 dan vol. V, no. 2036), Mu’jam Ibn al-Muqri (vol. II, no. 839), dan Mu’jam al-Syuyukh li Ibn Jami’ al-Shaidawi (vol. I, no. 123).

Di samping hadis ini diriwayatkan dari banyak jalur, beberapa riwayat juga ada yang menyebutkan dengan matan yang sedikit berbeda, yaitu dengan lafal طَلَبُ الْعِلْمِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ. Mereka yang meriwayatkan dengan matan ini ialah al-Baihaqi dalam Sya’bu al-Iman (vol. III, no. 1552), al-Thabrani dalam Mu’jam al-Awsath (vol. VIII, no. 8611), Ibnu Abd al-Bar dalam Jami’ Bayan al-‘Ilmi wa Fadhlihi (vol. I, no. 20), Baybi binti Abd al-Shomad al-Harwiyah dalam Juz Baybi (vol. I, no. 110), dan al-Shaidawi dalam Mu’jam al-Syuyukh (vol. II, no. 337).

Walaupun hadis yang mendapat tambahan “wa muslimatin” tidak ada sumbernya, namun bila dilihat dari segi matan hadis yang mendapat tambahan lafal tersebut shahih, yaitu kewajiban menuntut ilmu tidak hanya untuk seorang muslim tapi juga muslimah. Musthafa al-Istanbuli, seorang mufassir bermadzhab Hanafi dalam tafsirnya menerangkan bahwa menuntut ilmu wajib bagi laki-laki dan perempuan yang telah mukallaf (mukallaf dzakaran kana aw untsa) (Tafsir Ruh al-Bayan, vol. VIII, hal. 61 ). Selain beliau, Syaikh Muhammad Rasyid Ridha juga mengatakan bahwa “Hadits - menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim - mencakup wanita juga dengan kesepakatan ulama, sekalipun tidak ada tambahan lafadz “wa muslimatin”". (Huquq al-Nisa Fi al-Islam)

3. Dunia dan akhirat dengan ilmu

وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ

Artinya: “Barangsiapa yang menghendaki dunia maka wajib baginya dengan ilmu, dan barangsiapa yang menghendaki akhirat maka wajib baginya dengan ilmu. Dan barang siapa yang menghendaki keduanya (dunia dan akhirat) maka wajib dengan ilmu”.

Hadis ini sangat populer dan sering disandarkan kepada Nabi. Namun ini sesungguhnya bukanlah perkataan beliau melainkan perkataan Imam al-Syafi’i. Perkataan Imam Syafi’i ini tercantum diantaranya dalam kitab Nasyarthi fi Fadhl Hamlah al-‘Ilmi (vol. I, hal.162) karangan Muhammad bin Abdurrahman bin Umar, Tafsir al-Siraj al-Munir (vol. IX, hal.162) karangan Muhammad bin Ahmad al-Syarbaini, Tahdzib al-Asma wa al-Lughat (hal. 78) karangan Abu Zakariya Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi, al-Da’wah al-Salafiyyah (hal. 89) karangan Mahmud Abdul Hamid al-‘Asqalani, Mafatih Tadabbur al-Sunnah, Hadzihi Hiya Zaujati karangan Abu Ahmad, dan Arsyifi Multaqi Ahl al-Hadits.

Dari ke semua kitab di atas yang mencantumkan perkataan Imam al-Syafi’i tersebut, seluruhnya menuliskan وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ tanpa tambahan وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ. Hanya ada satu riwayat dari Imam Ali dalam Arsyifi Multaqi Ahl al-Hadits dengan tambahan وَمَنْ أَرَادَهُمَامعاً فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ.

4. Menuntut ilmu dari buaian sampai liang kubur

اطْلُبُوْا الْعِلْمَ مِنَ الْمَهْدِ إِلَى اللَّحْدِ

Artinya: “Tuntutlah ilmu dari buain sampai ke liang kubur”.

Hadis yang sangat populer ini tidak bersumber dari Nabi. Bahkan ahli ilmu menyatakan bahwa hadis ini palsu (maudhu’). Hal ini ditegaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam Durus (vol. X, hal. 35).

5. Ilmu sebagai penghapus dosa yang telah lalu

مَنْ طَلَبَ الْعِلْمَ ، كَانَ كَفَّارَةً لِمَا مَضَى عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ سَخْبَرَةَ عَنْ سَخْبَرَةَ : عَنِ النَّبِيِّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ

Artinya: “Dari Abdullah bin Sakhbarah, dari Sakhbarah, dari Nabi Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang mecari ilmu maka ilmu tersebut akan menjadi kafarat

(penghapus) bagi dosa-dosa yang telah lampau”.

Hadis ini diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya (vol. V, no. 2648) dan Ibnu Qani’ dalam Mu’jam al-Shahabah (vol. I, hal. 321). Di dalam sanadnya terdapat Abu Dawud al-A’ma yang menurut Ibnu Ma’in, dia adalah seorang perawi yang tidak tsiqah dan tidak dapat dipercaya (laysa bi tsiqah wa la mamun) (al-Majruhin, vol. III, hal. 55). Ibnu Qayyim dalam Miftah Dar al-Sa’adah juga berkomentar bahwa ia bukanlah orang yang tsiqah (ghayru tsiqah) (vol. I, hal. 76). Sementara al-‘Uqaili memasukan Abu Dawud al-A’ma dalam kitab kumpulan orang-orang dha’if miliknya (Dhu’afa al-‘Uqaili, vol. IV, hal. 307). Nashirudin al-Albani bahkan mengangap hadis ini sebagai hadis palsu (maudhu’) (Dha’if al-Jami’, no. 5686).

Matan hadis ini bila dilihat pun sedikit berlebihan, karena hanya dengan menuntut ilmu bisa menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu. Padahal semangat al-Qur’an dan al-Sunnah tidak hanya menyeru umat islam untuk menuntut ilmu saja tapi juga semangat mengamalkan amal shalih.

6. Orang yang menuntut ilmu berada di jalan Allah sampai ia kembali pulang

عَنْ أَنَسٍ بْنِ ماَلِكٍ قاَلَ : قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ خَرَجَ فيِ طَلَبِ الْعِلْمِ كاَنَ فيِ سَبِيْلِ اللهِ حَتَّى يَرْجِعَ

Artinya: “Dari anas bin malik berkata: Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang keluar untuk mencari ilmu maka dia berada di jalan Allah (fi sabilillah) sampai ia kembali pulang”.

Hadis ini marfu’ kepada Nabi. Diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Sunan-nya (vol. V, no. 2647), al-Bazzar dalam Musnad (vol. II, no. 6520) dan al-Thabrani dalam Mu’jam al-Shaghir (vol. I, no.). Di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Khalid bin Yazid al-Lu-lu serta Abu Ja’far al-Razi yang menyendiri (tafarrada) dalam meriwayatkannya dari jalur Anas bin Malik.

Sebenarnya Khalid bin Yazid al-Lu-lu al-‘Itqi adalah perawi yang lemah (dha’if) (al-Mughni Fi al-Dhu’afa, vol. I, hal. 207). Menurut al-‘Uqaili kebanyakan hadisnya tidak dapat diikuti (la yutabi’u ‘ala katsir min haditsihi) (Dhu’afa al-‘Uqaili, vol. II, hal. 17). Sehingga al-Albani mendhaifkannya (Misykah al-Mashabih, vol. I, no. 220). Namun oleh Tirmidzi hadis ini di hasan-kan (Mizan al-I’tidal, vol. I, hal. 648).

Secara matan hadis ini memang memberikan berita tentang keutamaan orang yang pergi menuntut ilmu sampai ia kembali pulang. Namun untuk alternatif lain ada hadis yang lebih aman – karena derajatnya lebih tinggi – yang bisa disampaikan kepada masyarakat. Diantaranya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Darda:

فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الْجَنَّةِ وَ إِنَّ الْملَاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهاَ رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ طَالِبَ الْعِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فيِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ حَتَّى الْحِيْتَان فيِ الْماَءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ عَلَى سَائِرِ الكَوَاكِبِ إِنَّ الْعُلَماَءَ هُمْ وَرَثَةُ الْأَنْبِياَءِ إنَّ الْأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُواْ دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إنَّماَ وَرَثُوْا العِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ

Artinya: “Sesungguhnya aku (Abu Darda) r.a mendengar Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan bukakan baginya salah satu jalan menuju syurga. Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu. Sesungguhnya orang yang berilmu akan benar-benar dimintakan ampun oleh semua penduduk langit dan bumi, bahkan ikan hiu yang ada di air (laut). Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan bulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar maupun dirham, tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Maka, barangsiapa yang mengambilnya, berarti ia telah mengambil jatah yang cukup banyak”. (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Abu Syaibah, Ibnu Basyran. Dan lafaz ini milik Ibnu Majah. Dishahihkan oleh Nashirudin al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Sunan Ibn Majah, (vol. I, hal. 295)).

Di dalam hadis ini dijelaskan penghormatan besar yang diperoleh para penuntut ilmu. Para malaikat meletakkan sayap-sayapnya kepada penuntut ilmu dengan rendah diri dan rasa hormat. Begitu juga halnya para makhluk Allah yang berada di langit, bumi bahkan lautan. Semuanya akan memintakan ampun dan berdoa untuk mereka.

Begitulah kemulian para penuntut ilmu. Orang yang berilmu diibaratkan seperti purnama yang bersinar di antara bintang-bintang yang lain. Semoga kita termasuk dalam golongan-golongan penuntut ilmu yang benar-benar bisa menjadi pewaris para Nabi. Amiin yaa Rabbal’alamin...

*Alumni Pondok Pesantren MWI Kebarongan dan mahasiswa PUTM Yogyakarta

1O Macam Kesalahan (atau dagelan) Konyol Orientalis Dalam Studi Hadist (Bag I)

Al-Hadist adalah fundamen kedua dari agama kita yang tercinta ini, maka tidak heran jika orang-orang yang hendak meruntuhkan bangunan agama Islam akan menyasarkan senjatanya tepat ke jantung hadist. Orientalist, para sarjana Barat yang mempelajari dunia Timur termasuk Islam, adalah salah satu penyumbang utama destruksi hadist. Yaa meskipun sebagian dari hasil studi mereka dapat kita manfaatkan, tetapi syubhat yang mereka lontarkan juga tak kurang banyaknya. Kelebihan kaum Orientalis adalah selubung ilmiyah mereka. Dengan predikat ahli bahasa Arab, pakar filologi, dan seterusnya, maka mereka menjadi terlihat angker. Kepakaran mereka dalam bidang hadis misalnya, membuat pendapat-pendapat mereka menjadi bernilai dan berbobot ilmiyah. Meskipun begitu, jika selubung ilmiyah itu dikulit, maka tampakalah motif ideologis yang perlu diwaspadai. Edward Said telah sukes melakukan hal itu lewat karya monumentalnya Orientalisme.

Tulisan ini memuat 10 dagelan atau lawakan ilmiyah dari Orientalis yang meneliti hadist. Kenapa dagelan?, yaa baca saja, anda akan tersenyum geli melihat tingkah polah mereka, ketidak jujuran mereka yang dibungkus selubung ilmiyah demi menggoyahkan dasar kedua agama Islam. Pembuka ini sebenarnya sekaligus disclaimer bahwa tulisan ini bukan karya admin tetapi merupakan buah pena Hafidz Firdaus dengan judul “Mendedahkan 10 ragam dan bentuk kesilapan para sarjana Orientalis dalam kajian mereka terhadap hadis-hadis Rasulullah saw.” Berbau melayu kan?, ya dia seorang penulis dari negri Jiran yang giat membela Islam lewat pena. Langsung saja… silakan dinikmati, ohya karna ini karya berbahasa Melayu, berdiap-siap saja berlogat Ipin Upin ahehehe…

10 DAGELAN ORIENTALIS HADIST.

Pertama: Salah rujukan kitab.

Kedua: Penyelidikan sumber rujukan yang tidak menyeluruh.

Analisa berikut akan menyentuh dua ragam orientalis sekaligus, pertama adalah salah rujukan kitab dan kedua adalah penyelidikan sumber rujukan yang tidak menyeluruh.

Ignaz Goldziher dalam bukunya Muslim Studies telah meragui sama ada Imam Malik bin Anas (179H) telah benar-benar menulis secara lengkap kitab al-Muwattha’ sebelum kematiannya kerana menurut analisa beliau, beberapa edisi awal kitab tersebut telah menunjukkan perbezaan yang ketara antara satu sama lain. Beliau menulis: Considering the accounts available about the different versions of the Muwattha’ and on the other hand comparing the two versions, the full text of which are stil extant, the belief that Malik b. Anas made a fixed text, whether orally or by munawala (penyampaian secara lisan-P) the object of transmission, is severely shaken. In that case two versions of the same book could not really be so completely different.[1]

Hasil penemuan Goldziher di atas tidaklah memeranjatkan kerana beliau telah membanding antara dua kitab yang saling berlainan, atau lebih tepat – salah rujukan kitab. Bagi merumuskan hujah di atas, Goldziher telah menganalisa dan membanding antara 2 edisi Muwattha’, iaitu antara edisi Muwattha’ Imam Malik salinan Yahya bin Yahya al-Masmudi (234H) dengan Muwattha’ Imam Malik salinan Muhammad al-Hasan as-Shaibani (189H).[2]

Yahya bin Yahya dan Muhamad as-Shaibani adalah dua orang anak murid Imam Malik yang telah mempelajari dan menyalin kitab al-Muwattha’ Imam Malik. Naskah salinan Yahya bin Yahya kekal sehingga hari ini manakala naskah as-Shaibani telah mengalami beberapa tambahan. Ini adalah kerana as-Shaibani, selepas beliau duduk belajar bersama Imam Malik selama 3 tahun, telah berhijrah ke Kufah untuk belajar bersama Imam Abu Hanifah (150H) pula. Dalam penghijrahannya itu dan ketika duduk di Kufah, beliau telah menemui beberapa lagi hadis-hadis Rasulullah, kata-kata sahabat dan hujah tabiin lalu turut dicatitnya dalam naskah yang asalnya mengandungi salinan Muwattha’ Imam Malik. Atas dasar tambahan-tambahan ini, kitab as-Shaibani tersebut tidak lagi dikenali di kalangan ilmuan Islam sebagai Muwattha’ Imam Malik tetapi sebagai Muwattha’ as-Shaibani. Kitab ini juga sering dijadikan rujukan oleh ilmuan Islam bagi mengkaji hadis-hadis yang berasal dari Kufah dan mengenal hujah-hujah Imam Abu Hanifah, jauh sebagai mengenal hujah-hujah Imam Malik.

Ignaz Goldziher sebenarnya tahu bahawa terdapat 15 anak murid Imam Malik yang menyalin dan menyimpan naskah Muwattha’ yang asal[3], tolak as-Shaibani – maka tinggal 14. Dari 14 salinan, 8 masih wujud sehingga masa kini, sama ada sebahagian atau sepenuhnya, sama ada dalam bentuk manuskript atau bercetak.[4] Kenapakah Goldziher hanya membanding dengan edisi as-Shaibani lalu terburu-buru membuat rumusan tanpa terlebih dahulu membanding dengan edisi lain ? Lebih dari itu Goldziher sendiri mengenal baik akan jalan hidup as-Shaibani yang dipenuhi dengan aktiviti penghijrahan ilmiah, maka kenapa tidak diketahui pula bahawa as-Shaibani sedia mencatit pelbagai tambahan dalam naskah asal Muwattha’ Imam Malik yang disalinnya sehingga akhirnya menjadilah ia satu kitab yang berasingan ?

Demikian dua ragam kajian yang sangat masyhur di kalangan sarjana hadis orientalis, iaitu [1] kitab yang dijadikan perbandingan adalah kitab yang salah dan [2] rumusan dilakukan tanpa merujuk kepada pelbagai kitab-kitab lain yang sedia ada, yakni penyelidikan sumber rujukan yang tidak menyeluruh.

Footnote #1 & 2:

[1] Muslim Studies, vol 2, pg 204-205. Teks yang digaris adalah dari penulis sendiri bagi menarik perhatian pembaca.

[2] Muslim Studies, vol 2, pg 207-209.

[3] Muslim Studies, vol 2, pg 205, fn 4.

[4] Lihat kajian Yasin Dutton – The Origins of Islamic Law, pg 22 dan seterusnya. Dalam buku ini Dutton telah menjawab perlbagai dakwaan orientalis terhadap kitab Muwattha’ Malik, penjelasan penulis di atas adalah ringkasan dari salah satu tanggapan beliau dalam buku tersebut.

Ketiga: Penyelidikan yang tidak menyeluruh terhadap sesebuah kitab.

Jika sebelum ini kita telah melihat contoh penyelidikan sumber rujukan yang tidak menyeluruh, maka kini kita akan lihat pula salah satu dari sekian banyak contoh penyelidikan yang tidak menyeluruh terhadap sesebuah kitab. Dalam erti kata lain, kesimpulan dibuat tanpa mengkaji keseluruhan kitab dari muka ke muka, atau dalam bahasa mudah: baca tak habis !.

G.H.A. Juynboll dalam artikelnya Some New Ideas on The Development of Sunna as a Technical Term in Early Islam[1] telah merujuk kepada kitab tafsir Ibnu Jarir at-Tabari (310H) – Jamii al-Bayan an Takwil ay al-Qur’an - bagi mengkaji siapakah di kalangan generasi tabiin yang berpendapat perkataan al-Hikmah di dalam al-Qur’an memiliki maksud sunnah Nabi sallallahu-alaihi-wasallam. Beliau menulis: Tabari mentioned only Qatada (d. 118/736) who identified hikma with as-sunna (but we will see below what Qatada meant by that). Other early authorities in Tabari’s tafsir suggested that it conveyed “knowledge of and insight into religion” (al-ma’rifah bi ‘d-din wa ‘l-fiqh fi d’-din) or similar expressions. Not even Tabari himself, who died more than a century after Shafi’i in 310/923, mentioned here sunnat an-nabi as the interpretation of hikma, though in another context he did without basing himself on earlier authorities, as was otherwise his custom. [2]

Rujukan kembali kepada kitab tafsir Jamii al-Bayan di atas menunjukkan bahawa at-Tabari juga telah meriwayatkan dengan isnad yang lengkap tafsiran al-Hikmah sebagai mewakili maksud sunnah Nabi dari beberapa tabiin selain Qatadah, antaranya ialah Ibnu Juraij (150H)[3] dan Ibnu Zaid (182H), yang telah berkata: (al-Hikmah ialah) bahagian agama yang tidak mereka ketahui kecuali dengan Nabi sallallahu-alaihi-wasallam, beliau mengajar mereka tentangnya.[4] Apa yang diajar oleh Rasulullah, itulah yang dikenali sebagai sunnah.

Rumusan Juynboll bahawa at-Tabari sendiri tidak menafsirkan perkataan al-Hikmah sebagai sunnah Nabi adalah juga tidak benar, kerena rujukan semula ke dalam kitab Jamii’ al-Bayan mendapati at-Tabari menulis: al-Hikmah ialah as-Sunnah, iaitu yang ditetapkan Allah (segala pujian baginya) kepada sekalian mukminin atas lisan Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam, juga segala keterangan beliau kepada mereka.[5] Sementara dalam satu bahagian lain at-Tabari menulis: al-Hikmah ialah dengan hikmah, iaitu as-Sunnah. Setelah itu at-Tabari mengemukakan beberapa riwayat dari Ibnu Zaid dan Qatadah yang beliau jadikan sandaran.[6]

Seterusnya Juynboll dalam artikelnya yang sama mengemukakan beberapa pendapat lain tentang perkataan al-Hikmah yang ditafsirkan kepada maksud selain sunnah Nabi. Perbezaan tafsir ini adalah kerana – sebagaimana terang Ibnu Qayyim (757H)[7] – terdapat dua ragam dan pola susunan perkataan al-Hikmah dalam al-Qur’an. Ragam pertama adalah apabila perkataan al-Hikmah berdiri dengan sendirinya. Ia memiliki beberapa erti seperti sifat-sifat kenabian (nubuwah), kebijaksanaan dan syari’at agama, setiapnya bergantung kepada konteks perbincangan ayat. Ragam kedua adalah apabila perkataan al-Hikmah digandingkan dengan al-Kitab, iaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Dalam ragam kedua ini, perkataan al-Hikmah bererti segala sumber syari’at, ilmu dan perincian agama yang tidak terkandung dalam kitab suci (al-Kitab). Ini sepertimana yang telah penulis sebelum ini (lihat tugas ke-7 dalam bab 10 Tugas dan Tanggung-Jawab Rasulullah)

[1] Dibukukan dalam Studies on The Origins and Uses of Islamic Hadis, pg 97-118.

[2] Studies on The Origins and Uses of Islamic Hadis, pg 106-107.

[3] Jamii al-Bayan an Takwil ay al-Qur’an, jld 3,bhg 1, ms 373, no: 5575.(Tafsir ayat 3:48).

[4] Jamii al-Bayan, jld 1, ms 775, no: 1716. (Tafsir ayat 2:129)

[5] Jamii al-Bayan, jld 3, bhg 2, ms 217. (Tafsir ayat 3:164).

[6] Jamii al-Bayan, jld 14, bhg 1, ms 120. (Tafsir ayat 62:02).

[7] Madarij as-Salikin, ms 330-331. Lihat juga Muhammad Uwais an-Nadwy – Tafsir Ibnu Qayyim: Tafsir Ayat-ayat Pilihan, ms 263-264.

BERSAMBUNG RUMIYEN…

Sumber : http://hafizfirdaus.com