PK IMM PUTM PUTRA

Rabu, 14 Maret 2012

PERKEMBANGAN FATWA DAN POSISI MAJELIS TARJIH

Ifta’ Zaman Klasik Hingga Akhir Khilafah

Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah ta’ala sebagai jawaban atas semua permasalahan yang dihadapi manusia. Jawaban-jawaban tersebut terdapat di dalam dua dasar utama ajaran Islam yakni Alqur’an dan sunnah Rasulullah. Namun demikian tidak semua persoalan manusia dikemukakan jawabannya secara eksplisit oleh kedua sumber utama tersebut. Jika muncul persoalan semacam itu maka yang harus dilakukan adalah melakukan ijtihad sebagaimana jawaban Mu’az bin Jabal di dalam dialognya dengan Rasulullah saw ketika hendak diutus ke Yaman[1].

Jika merujuk pada pengertian yang diberikan oleh al-Ghazali, ijtihad adalah pencurahan kemampuan seorang mujtahid untuk memperoleh hukum-hukum syar’i[2]. Untuk menjadi mjtahid ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang, maka tidak semua manusia bisa berijtihad. Oleh karena itu manusia dibagi menjadi dua golongan. Pertama golongan mujtahidin yaitu orang-orang yang mempunyai kemampuan memetik hukum atau menggali hukum dari dalil-dalilnya disebut juga ulama, kedua golongan ‘auwam, yaitu orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari dalil-dalilnya[3]. Orang awam wajib bertanya tentang masalah-masalah keagamaan kepada ulama yang dipercayai kealiman dan keadilannya.[4]. Proses pemberian jawaban atas persoalan keagamaan itu disebut ifta’, jawaban yang diberikan oleh ulama itu disebut fatwa.

Pemberian fatwa (ifta) adalah salah suatu institusi yang amat tua dalam peradaban Islam[5]. Mohammad Atho Mudzhar mencatat bahwa ifta dilakukan sejak abad ke-7 dan ke-8 ketika mulai muncul beragam persoalan hukum baru yang memerlukan ijtihad seirirng dengan meluasnya daerah kekuasaan kaum Muslimin. Menurut beliau, Ibrahim an-Nakha’I (w. 132 H) adalah orang yang pertama memberikan fatwa[6]. Bahkan lebih jauh lagi, menurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar ifta telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw, dan Nabi sendiri adalah mufti yang pertama, sebab dalam al-Qur’an dicatat bahwa kadang kala orang-orang meminta fatwa kepada beliau saw, misalnya peristiwa yang terekam dalam ayat yang berbunyi yastaftunaka ... qulillahu yuftikum( Q. 4: 127 dan 176)[7].

Memasuki abad ke-12 mulai dilakukan kegiatan-kegiatan pengumpulan fatwa oleh ulama dari berbagai mazhab dimana seorang ulama mazhab mengumpulkan fatwa-fatwa yang pernah dikeluarkan oleh pembesar-pembesar mazhabnya. Di kalangan mazhab Hanafi kumpulan fatwa yang paling awal dikerjakan oleh beberapa ulama mazhab itu antara lain ; kumpulan fatwa oleh Burhan ad-Din bin Maza (w. 570 H) berjudul Zakhirat al-Burhaniyyah, oleh Qadi Khan (w. 592H) berjudul al-Khaniyyah, oleh Siraj ad-Din as-Sanjawi (w. abad ke-6 H) berjudul as-Sirajiyyah, dan oleh Ibn al-Ali ad-Din (w. 800 H) berjudul Tatar Khaniyah. Dari kalangan mazhab Maliki tercatat kumpulan fatwa yang dikerjakan oleh al-Wansyiri (w. 914 H) berjudul Mi’yar al-Maghrib. Kumpulan fatwa juga terdapat di kalangna mazhab Hanbali, yang paling terkenal dan masih menjadi referensi sampai hari ini adalah kumpulan fatwa Ibn Taimiyah yang terdiri dari lima jilid berjudul Kitab Majmu’ al-Fatawa, atau dalam terbitan lain berjudul Fatawa al-Kubra. Pada abad ke-17 di India terbit kumpulan fatwa yang terkenal berjudul Fatawa al-Amqiriyyah.[8]

Ifta’ Kontemporer dan Peran Majelis Tarjih

Pembuatan dan pengumpulan fatwa tetap berlangsung hingga zaman modern ini, salah satu kumpulan fatwa modern yang terbilang besar adalah kumpulan fatwa Dar al-Ifta’ di Kairo sebanyak 130 volume yang memuat fatwa institusi tersebut sejak tahun 1895[9]. Namun demikian, cakupan fatwa pada zaman modern tidak seluas cakupan fatwa pada periode klasik. Pada zaman modern cakupan fatwa terbatas pada hukum perorangan saja. Hal ini mulai terjadi sejak abad ke-19 ketika Kesultanan Turki Utsmani mulai memasukan hukum Barat ke dalam dunia Islam dan semakin terasa ketika Kesultanan tersebut runtuh digantikan negara-negara bangsa yang memberlakukan hukum sekuler[10]. Meski cakupannya sudah terbatas, pemberian fatwa hingga zaman modern ini bukannya surut, tetapi justru mengalami peningkatan baik kualitatif maupun kuantitatif.

Selain terbatasnya cakupan fatwa pada hukum perorangan saja[11], terdapat perbedaan karakteristik antara fatwa pada periode klasik dengan fatwa-fatwa kontemporer. Pada periode klasik dan pramodern, fatwa diberikan oleh seorang ulama yang bertindak sebagai mufti individual, sedangkan pada masa kini banyak kasus dimana fatwa diberikan oleh sejumlah mufti secara kolektif atau suatu lembaga[12]. Hasil fatwanya tidak hanya dikomunikasikan kepada peminta fatwa secara langsung dan perorangan, seperti halnya fatwa pada masa klasik dan pramodern, melainkan juga dilakukan dengan memanfaatkan media modern sehingga penyebaran fatwa tersebut lebih luas[13].

Di Indonesia terdapat beberapa lembaga yang menjadi wadah bagi ulama untuk beriijtihad jama’I serta memberikan fatwa secara kolektif misalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI adalah sebuah lembaga semi pemerintah yang sejak didirikan pada tahun 1975 telah aktif mengeluarkan sejumlah fatwa menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat[14]. Beberapa organisasi kemasyarakatan juga memiliki bagian khusus tempat para ulama memberikan fatwa secara kolektif. Misalnya Nahdhatul Ulama (NU) memiliki lembaga Lajnah Bahsul Masail.

Salah satu organisasi penting yang memiliki lembaga semacam itu dan menjadi objek penelitian ini adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki majelis khusus yang bertanggung jawab terhadapa masalah-masalah keagamaan secara umum dan pemberian fatwa secara khusu bernama Majelis Tarjih dan Tajdid. Majelis ini dibentuk sebagai hasil kongres Muhammadiyah XVII pada tahun 1928 dengan K.H. Mas Mansyur sebagai ketua pertamanya. Sesuai namanya, awalnya majelis ini dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah khilafiyah yang ada di tengah-tengah masyarakat dengan cara melakukan tarjih, lalu menetapkan pendapat yang paling kuat untuk diamalkan oleh warga Muhammadiyah[15]. Seiring dengan munculnya beragam persoalan keagamaan khususnya masalah fikih kontemporer yang tidak bisa diselesaikan melalui proses tarjih saja, Majelis Tarjih dan Tajdid kemudian berkembang tidak hanya melakukan tarjih sebagaimana pengertiannya adalam ilmu Ushul Fiqih[16], tetapi lebih jauh lagi melakukan ijtihad insyai yakni melakukan usaha untuk mengambil kesimpulan hukum dari peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh ahli fikih terdahulu.

Sebagai langkah untuk meningkatkan kinerjanya, selama kurun waktu 1985-1990 Majelis Tarjih dan Tajdid berupaya merumuskan Manhaj Tarjihnya. Pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majlis Tarjih berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah Pada point pertama disebutkan bahwa dalam berijtihad Muhammadiyah memakai tiga pola ijtihad, yakni ijtihad bayani, ijtihad qiyasi, dan ijtihad istislahi[17]. Ijtihad Bayani, yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Quran dan al-Hadis, Ijtihad Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam nash al-Quran dan al-Hadis, sedangkan Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.

Pada zaman sekarang ini, disebabkan laju perkembangan masyarakat yang sangat pesat ­­­maka muncullah beragam persoalan-persoalan baru (nawazil) yang memerlukan penjelasan syar’i dari para ulama yang dikemukakan melalui fatwa-fatwa, baik karena adanya permintaan dari mustafi, atau berdasarkan inisiatif dari para ulama sendiri. Namun demikian, kebanyakan dari masalah-masalah baru itu tidak ditemukan rujukan dalilnya yang pasti di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan semacam ini aspek kemaslahatan masyarakat sebagai inti dari maqashid asy-syari’ah harus diperhatikan, sehingga pola ijtihad yang dominan dipakai adalah ijtihad istislahi[18] yang di dalamnya tercakup konsep al-mashalih dan al-dzari’ah[19].



[1] Dialog tersebut terekam dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 3594 di dalam bab ijtiahad ar-ra’yi fi al-qadhai.

[2]

[3] T.M. Hasbi Ash-shiddieqy, Pengantar Hukum Islam Jilid I, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975),hal 179.

[4] Ibid.

[5] H. Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:RM Books, 2007), hal 297.

[6] Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : INIS, 1993), hal 2.

[7] H. Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer..., hal 297.

[8] Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis , hal 2.

[9] H. Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer..., hal 299.

[10] Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 2.

[11] Kecuali untuk negara yang memberlakukan hukum Islam sebagai hukum negara seperi Saudi Arabia. Di Saudi, fatwa tidak hanya menyangkut hukum perseorangan saja tetapi juga berperan dalam ranah publik seperi politik negara tersebut. Lihat M. Atho Mudzahr, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 3 .

[12] H. Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer..., hal 311.

[13] ibid

[14] Ibid

[15] Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta : Logos Publishing, 1995), hal 64.

[16] Di dalam pengertian umum ushul fiqih, tarjih berarti

[17] Ahmad Zain an-Najah, “Majelis Tarjih Muhammadiyah: Pengenalan, Penyempurnaan dan Pengembangan,Makalah dipresentasikan dalam acara FORMAT ( Forum Kader Umat ) yang diselenggarakan oleh PCIM ( Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah ) Kairo,Mesir pada tanggal 7 Maret 2004 di Sekertariat PCIM. Hal. 5.

[18] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996 ), hal 132.

[19]. Ibid, hal 142.

Jumat, 09 Maret 2012

MENGENAL LEBIH JAUH TIPOLOGI PEMIKIRAN DALAM ISLAM


Oleh: Nicky Alma Febriana Fauzi

Dalam syari’at Islam pembebanan (taklîf) kepada manusia memiliki tujuan-tujuan, atau dalam istilah ushul fikih dikenal dengan teori maqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum). Teori ini bisa dibilang pertama kali dicetuskan oleh al-Juwaini, guru dari imam al-Ghazali yang kemudian mewarisi teori tersebut. Setelah al-Ghazali, ‘Izzu al-Din ibn ‘Abdi al-Salam, seorang ulama dari madzhab Syafi’i meneruskan estafeta pengembangan teori ini. Namun, tokoh yang paling terkenal dalam pembahasan teori maqâshid al-syarî’ah tidak lain dan tidak bukan adalah Imam al-Syathibi dengan buah karyanya yang menjadi masterpiece dalam dunia Islam, al-Muwâfaqât (Fathurrahman Djamil: 37-38). Karya ini bisa dibilang karya paling monumental dalam kajian ushul fikih yang membahas tentang maqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum).

Dalam perkembangannya – khususnya di Indonesia - teori maqâshid al-syarî’ah di identikkan dan menjadi kajian utama dalam Filsafat Hukum Islam. Sehingga mau tidak mau pemikiran manusia sangat berpengaruh dalam memahami teks-teks agama. Kecenderungan sebagian orang yang memahami teks-teks agama secara tekstual membawa mereka pada pemahaman harfiyyah (literal) yang kaku, tanpa mempertimbangkan tujuan-tujuan ditetapkannya hukum. Sebaliknya, sebagian orang yang berdalih hanya pada maqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum) tanpa memperhatikan nash-nash yang ada, mengakibatkan mereka terjerumus kepada pemahaman yang bebas (liberal). Namun, diantara keduanya ada sebagian orang yang memadukan antara teks danmaqâshid al-syarî’ah (tujuan ditetapkannya hukum) dengan proporsional sesuai prinsip-prinsip agama yang benar. Oleh karena itu, Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam salah satu kitabnya yang berjudul “Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah” membagi tipologi pemikiran Islam – pada zaman sekarang - menjadi tiga aliran besar; pertama, al-zhahiriyyah al-judud (neo-literalisme), kedua, al-mu’aththilah al-judud (neo-liberalisme), dan yang ketiga, al-wasathiyyah (moderat).

1. Al-Dzahiriyyah al-Judud (neo-literalisme)

Aliran dzahiriyyah (literalisme) sesungguhnya telah lahir sejak abad ke-3 hijriyyah, dengan pencetusnya Dawud ibn Ali Bahri (202-270 H) atau yang lebih akrab dengan nama Dawud Dzahiri. Seiring berjalannya waktu aliran ini mulai pudar sebelum ditransformasi kembali oleh Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm (384-456 H) (Asjmuni Abdurrahman: 3). Ibnu Hazm inilah yang kemudian lebih dikenal sebagai “penyebar” aliran Dzahiriyyah. Pemahaman ibnu Hazm ini sangat tekstualis, bahkan cenderung ekstrim. Contohnya misalnya ketika ia memahami hadis tentang diamnya perempuan ketika dilamar seorang lelaki. Jumhur ulama berpendapat bahwa diamnya perempuan ketika dilamar berarti ia mau atas lamaran tersebut, karena pada umumnya perempuan malu untuk mengungkapkannya secara langsung. Seandainya perempuan tersebut menyetujuinya dengan menjawab langsung pinangan laki-laki, maka – otomatis – itu lebih menunjukkan atas kesetujuaannya. Namun pemahaman ibnu hazm tidaklah demikian. Menurutnya, jika si perempuan menjawab langsung maka akad tersebut menjadi tidak sah dan batal, karena teks hadis tersebut menjelaskan tentag diamnya perempuan yang dilamar.

Di zaman sekarang mereka mewariskan paham ketekstualan kepada para successor-nya dengan pemikiran yang lebih “berkembang”. Selain karena faktor internal, faktor eksternal dari luar pun tidak dapat dipungkiri ikut berpengaruh di dalamnya. Inilah kemudian yang oleh Yusuf Qaradhawi dinamakan dengan aliran al-Dzahiriyyah al-Judud (neo-literalisme).

Karakteristik dan ciri khas aliran ini (Yusuf Qaradhawi, Dirâsah fi Fiqh Maqâshid al-Syarî’ah: 53-57) diantaranya ialah:

  1. Memahami nash agama secara harfiyyah (tekstual) tanpa memperhatikan hikmah dibalik penetapan hukum
  2. Kecenderungan tasyaddud (menyangat-nyagatkan) dan ta’sîr (menyulit-nyulitkan)
  3. Intoleran terhadap perbedaan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadi
  4. Menganggap salah terhadap orang lain yang tidak sepaham dengan mereka
  5. Menolak dan mengingkari adanya ‘illat (kausa/motif hukum) dalam penetapan beberapa hukum
  6. Berpegang secara kaku terhadap nash yang bersifat juz-iy (partikular)

2. Al-Mu’aththilah al-Judud (neo-liberalisme)

Konon, benih-benih aliran ini diturunkan dari kelompok rasionalis, Mu’tazilah. Menurut Abu Zahrah kelompok Mu’taziah mulai muncul pada masa dinasti Umayyah. Hingga akhirnya “keeksisan” kelompok ini bisa bertahan sampai pada masa dinasti Abasiyyah (Muhammad Abu Zahrah, Târîkhu al-Madzâhib al-Islâmiyyah, vol. I, hal. 138). Kelompok atau aliran yang terkenal dengan al-ushûl al-khamsah (5 pokok ajaran) tersebut sangat berpegang teguh pada peran akal dalam ber-istidlal(khususnya dalam masalah akidah) (ibid, hal. 144).

Di era modern, kelompok ini bertransformasi dengan menggunakan topeng yang lebih inovatif dan kreatif. Bedanya kelompok yang dulu lebih aktif “bermain” dan mengotak-atik akidah, kelompok yang baru lebih kepada tataran syari’at atau hukum islam, dengan mengklaim bahwa mereka lebih bergantung kepada maqâshid al-syarî’ah (maksud-maksud ditetapkannya hukum) dan ruh agama dengan menganulir teks-teks partikular di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Yusuf Qaradhawi: 85). Mereka meremehkan dan tidak menghormati nash-nash agama. Mereka juga memandang rendah dan hina kepada tradisi dan ulama Islam. Namun, dalam waktu yang sama mereka menghormati dan bahkan terkesan kuat “megkultuskan” Barat dan tradisinya.

Perasaan rendah diri (inferiority complex) yang dialami umat Islam melahirkan sikap kagum terhadap peradaban Barat yang maju, sehingga menjadi dasar sebagian kalangan untuk menetapkan hukum-hukum agama walaupun harus berbenturan dengan nash-nash yang telah tetap (tsawâbit), bahkan meruntuhkan sekalipun. Ketentuan-ketentuan yang ada dianggap tidak lagi dapat memenuhi kemaslahatan manusia yang terus berkembang. Keinginan untuk menyelaraskan nash dengan realita dilakukan melalui upaya mencari maqâshid al-syari’âh (makksud tujuan ditetapkannya hukum) yang diduga berada di balik simbol-simbol teks tanpa ada ketentuan yang mengaturnya, tentunya dengan ukuran akal manusia modern. Siapa saja dapat melakukannya. Dengan dalih kemaslahatan(al-mashlahah) manusia, terjadi upaya meruntuhkan syari`ah seperti pada hukum keluarga, warisan, hudud dan lain sebagainya. Teks-teks yang ada harus dipahami sebatas ruang dan konteks pewahyuannya, dengan kata lain disesuaikan dengan sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl).

Karakteristik dan ciri khas aliran ini diantaranya ialah (Yusuf Qaradhawi: 93-99):

  1. Tidak memiliki perangkat pemahaman agama yang benar
  2. Mengedepankan peran akal dari pada nash
  3. Keberanian mengungkapkan suatu pendapat (khususnya yang berkaitan dengan agama) tanpa didasari landasan ilmu yang kuat
  4. Mengkultuskan barat dan tradisinya (kebarat-baratan)

3. Al-Wasathiyyah (moderat)

Terlalu berpegang pada lahirnya teks (zhahiru al-nash) dan mengesampingkan maslahat atau maksud di balik teks berakibat pada kesan syariat Islam tidak sejalan dengan perkembangan zaman dan jumud dalam menyikapi persoalan. Sebaliknya terlampau jauh menyelami makna batin akan berakibat pada upaya menggugurkan berbagai ketentuan syari’at.

Keduanya sesungguhnya merupakan penyelewengan yang bisa mengakibatkan pada hancurnya agama Islam itu sendiri. Sehingga diperlukan sebuah metode yang menengahi keduanya; tetap mempertimbangkan perkembangan zaman dan maslahat manusia tanpa menggugurkan makna lahirnya teks (zhahiru al-nash). Sikap 'tengahan' inilah yang diharapkan dapat mengawal pemaknaan al-Qur’an dan hadis secara benar dan sesuai konteks kekinian.

Secara umum ajaran Islam bercirikan moderat (wasath); dalam akidah, ibadah, akhlak dan mu`amalah. Ciri ini disebut dalam Al-Qur’an sebagai al-Shirâth al-Mustaqîm (jalan yang lurus), yang berbeda dengan jalan mereka yang dimurkai (al-maghdhûb `alaihim) dan yang sesat (al-dhâllûn)karena melakukan banyak penyimpangan.

Al-Wasathiyyah (moderat) berarti keseimbangan di antara dua sisi yang sama tercelanya; “kiri” dan “kanan”, berlebihan dan keacuhan, literal dan liberal, seperti halnya sifat dermawan yang berada di antara sifat pelit dan boros. Karena itu kata “wasath” biasa diartikan dengan 'tengah'.

Karakterisitik dan ciri khas sikap moderat (yusuf Qaradhawi: 147-152):

  1. Meyakini adanya hikmah di balik syari’at serta kandungannya untuk kemaslahatan makhluk
  2. Selalu menginterkoneksikan antara satu nash/hukum dengan nash/hukum yang lainnya (komprehensif)
  3. Bersikap moderat (pertengahan) pada setiap perkara agama dan dunia
  4. Selalu mengkorelasikan nash-nash agama dengan realita-realita yang kongkrit dan kontemporer
  5. Selalu mengedepankan yang termudah dan mengambil yang termudah
  6. Keterbukaan (inklusifisme) dan toleran (tasâmuh) dengan kelompok yang berbeda pendapat

Sedangkan pijakan mereka dalam memahami teks ialah dengan cara (Yusuf Qaradhawi: 155-199):

  1. Mencari tujuan nash/maksud nash sebelum mengeluarkan pendapat
  2. Memahmi nash sesuai dengan konteks dan sebab turunnya (asbâb al-nuzûl)
  3. Membedakan antara maqâshid (tujuan-tujuan) yang bersifat tetap (konstan) dengan metode-metode yang bersifat fleksibel (berubah-ubah)
  4. Seimbang antara wilayah yang tsawâbit (tetap dan tidak bisa diijtihadi) dan mutaghayyar(berubah-ubah dan bisa diijtihadi)
  5. Membedakan antara makna ibadah dan mu’amalah

Tiga tipologi pemikiran inilah yang saat ini mewakili pemikiran-pemikiran manusia dalam memahami nash-nash agama. Dengan mengenal tipologi-tipologi pemikiran tersebut, setidaknya akan lebih memagari kita agar tidak cepat-cepat melontarkan klaim-klaim yang mungkin kurang pantas dan tidak enak didengar kepada saudara-saudara kita. Liberalisme memang sesuatu yang membahayakan dan sangat meresahkan, tetapi klaim liberal pun tidak bisa dikatakan sesuatu hal yang baik dan pantas diucapkan oleh seorang muslim yang bijak. Di sisi lain, Literalisme membuat Islam seolah menjadi agama yang kaku dan terkesan tidak bisa menjawab persoalan-persoalan kontemporer. Kemoderatan lah yang tampaknya bisa menjadi penengah antara keduanya sehingga Islam bisa menjadi agama yang shôlihun likulli zamân wa makân.

Amîn yâ Rabb al-‘Âlamîn...

* bisa juga dibaca di situs resmi Alumni Pondok Pesantren Madrasah Wathoniyah Islamiyah Kebarongan: http://www.el-wathoni.com/index.php?option=com_content&view=article&id=400:mengenal-lebih-jauh-tipologi-pemikiran-dalam-islam&catid=58:dunia-islam

1O Macam Kesalahan (atau dagelan) Konyol Orientalis Dalam Studi Hadist (Habis)

Keenam: Salah menterjemahan teks Arab.

Antara kelaziman para sarjana orientalis adalah keliru dan tersilap dalam menterjemah teks-teks Arab yang mereka rujuk. Hal ini memang sukar dielakkan kerana teks Arab klasik adalah jauh berbeza dengan teks Arab masa kini. Oleh itu seseorang yang boleh membaca akhbar Arab masa kini tidak semestinya dapat membaca dan menguasai penuh kitab-kitab klasik yang dirujukinya. Malah kita juga dapati orang-orang Arab sendiri mendalami bidang bahasa Arab sehingga ke tahap ijazah atau kedoktoran sebelum dapat menguasai sepenuhnya kitab-kitab Arab klasik. Bernard G. Weiss, dalam pendahuluan bukunya yang berjudul The Search for God’s Law[1] telah menulis: It is the result of years of grappling with difficult Arabic text ......... How can one express in English the ideas of a medieval author who wrote in a very specialized kind of classical Arabic ? Obviously, the lexical repertoire available to me is vastly different from that employed by Amidi.

Justeru sememangnya adalah satu kelaziman berlakunya kesilapan dan kekeliruan terjemahan dan tafsiran teks Arab dalam hasil kajian orientalis terhadap sumber-sumber klasik Islam. Malah kadang-kadang kesilapan mereka adalah terhadap sesuatu perkataan yang amat mudah. Joseph Schacht umpamanya, tidak dapat membezakan antara perkataansunnah dengan sunat !

Ketika cuba membuktikan bahawa umat di kurun kedua hijrah telah melaksanakan hukum-hukum dan ibadah secara sendiri-sendiri tanpa merujuk kepada sunnah Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam, Joseph Schacht telah menganalisa kata-kata Ali bin Abi Talib ini:

Solatlah sempena Hari ‘Aid (Hari Raya-P) di masjid 4 rakaat: dua rakaat sunat dan dua rakaat kerana tidak dilakukan di luar masjid [2]……. lalu terus dirumuskan bahawa mendirikan solat dua rakaat sempena Hari Raya adalah satu sunnah kebiasaan umat Islam di Iraq tanpa disandarkan kepada hadis atau riwayat Rasulullah.[3] Padahal yang dimaksudkan oleh Ali dalam kenyataan di atas adalah solat sunat dua rakaat sempena Hari Raya, sama ada Hari Raya Aidil Fitri atau Hari Raya Aidil ‘Adha. Sunat di sini adalah salah satu dari hukum Islam yang lima: wajib, haram, sunat, makruh dan harus, dan ia bermaksud solat dua rakaat Hari Raya adalah tidak wajib hukumnya. Ia tidak bermaksud sunnah dalam ertikata percakapan dan perbuatan Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam atau sunnah dalam ertikata kebiasaan perbuatan sesebuah komuniti.

Tambahan dua rakaat yang dimaksudkan oleh Ali radiallahu-anhu ialah solat sunat mutlak yang biasa dikerjakan oleh para sahabat sejak zaman Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam di masjid sebelum atau selepas mereka mendirikan solat sunat Hari Raya di padang. Di kalangan sahabat ada yang mengerjakan sebelum dan selepas, ada yang sebelum sahaja, ada yang selepas sahaja dan ada yang tidak langsung. Pelaksanaan solat ini adalah bebas mengikut kecenderungan masing-masing.[4]

Perkara kedua adalah – tidak perlu timbul sama ada perlaksanaan solat Hari Raya adalah berdasarkan hadis atau tidak, kerana ia sejak dari awal telah dilakukan oleh Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam 2 kali setahun, dan setiapnya disertai ratusan umat lelaki dan perempuan, tua dan muda. Justeru ia adalah satu perkara yang sangat dikenali oleh semua lapisan umat sehingga ke hari ini. Hanya Schacht yang tidak mengetahuinya, lalu dia menuduh ia adalah satu kebiasaan komuniti Iraq sahaja !

Sengaja atau tidak sengaja, kesilapan di atas bersama kesimpulan hujah yang mengikutinya cukup untuk meragukan kita terhadap pelbagai lagi rumusan yang dikemukakan oleh Schacht dan mana-mana rakan seperjuangannya yang lain. Apatah lagi di dalam buku mereka masing-masing, teks Arab yang sebenar tidak dikemukakan, hanya terjemahan yang mereka lakukan sendiri dan kesimpulan dari hasil terjemahan tersebut.

Catatan Kaki Keenam


[1] The Search of God’s Law: Islamic Jurisprudence in The Writings of Sayf al-Din al-Amidi, pg xix (bhg muqaddimah).

[2] Muhammad bin Idris as-Shafi’i – al-Umm, jld 7, ms 167.

[3] The Origins of Muhammadan Jurisprudence, pg 73.

[4] Lihat al-Umm, jld 1, ms 234 dan seterusnya, Bab Solat Sebelum Solat Hari Raya dan Sesudahnya.

Ketujuh: Menganggap sesesuatu yang tidak diketahui sebagai tidak wujud.

Kelapan: Menuduh umat Islam mencipta hadis tanpa bukti.

Apabila seorang tokoh di zaman awal tidak mengetahui satu hadis, lalu hadis itu diketahui pula oleh seorang tokoh lain di zaman yang kemudian, maka tokoh yang mengetahui itu dianggap telah mencipta sendiri hadis tersebut. Kerana apabila tokoh yang awal itu tidak mengetahuinya, ia membuktikan bahawa hadis tersebut pada awalnya memang tidak wujud kecuali ia dicipta oleh tokoh yang terkemudian itu.

Demikian juga, apabila seorang tokoh tidak mengetahui satu hadis di lokasinya lalu hadis tersebut diketahui pula oleh tokoh lain di lokasi lain, tokoh yang mengetahui hadis itu dianggap telah mencipta sendiri hadis tersebut.

Demikian rumusan ilmiah sarjana-sarjana hadis orientalis. Mari kita lihat satu contoh dari Schacht. Beliau menulis: The best of proving that a tradition did not exist at a certain time is to show that it was not used as a legal argument in a discussion which would have made reference to it imperative , if it had existed.

The evidence collected in the present chapter has been choosen with particular regard to this last point, and in a number of cases one or the other of the opponents himself states that he has no evidence other than that qouted by him, which does not include the tradition in question.

This kind of conclusion ‘e silentio’ is furthermore made safe by Tr.VIII, ii, where Shaibani says: “(This is so) unless the Medinese can produce a tradition in support of their doctrine, but they have none, or they would have produce it.” We may safely assume that the legal traditions with which we are concerned were quoted as arguments by those whose doctrine they were intended to support, as soon as they were put into circulation.[1]

Bagi membuktikan teori di atas, Schacht mengemukakan beberapa contoh, salah satu darinya adalah: Traditions originating between ‘Ata dan Shafi’i: Tr. I, 181:[2] Abu Yusuf refers to and follows the opinion of ‘Ata which he heard personally from Hajjaj b Artat. It is likely that this opinion goes back not even to ‘Ata himself but only to Hajjaj. But in Shafi’i’s time, it was expressed in a tradition from the Prophet.[3]

Yang dimaksudkan oleh Schacht adalah mengenai kedudukan rumput di Tanah Haram Makkah al-Mukarramah, apakah hukumnya bagi binatang yang meragutnya (memakannya) dan bagi manusia yang mencabutnya. Beliau merujuk kepada perbincangan yang dinukil oleh as-Shafi’i dalam kitab al-Umm:

Dan berkata Abu Yusuf rahimahullah, aku bertanya kepada Abu Hanifah radiallahu-Ta’ala-anhu tentang hukum rumput al-Haram. Maka berkata beliau: Aku tidak menyukai jika dibiarkan binatang meragut apa-apa rumput al-Haram atau memotongnya. Berkata (Abu Yusuf), dan aku bertanya Ibnu Abi Laila tentang perkara yang sama. Maka dia berkata: Tidak mengapa jika dipotong rumput al-Haram dan diragut darinya oleh binatang. Berkata (Abu Yusuf), dan aku bertanya al-Hajjaj bin Artat maka dia mengkhabarkan aku bahawa dia telah bertanya Atha’ bin Abi Rabah lalu beliau menjawab: Tidak mengapa jika diragut rumput (al-Haram) oleh binatang akan tetapi tidak disukai jika dipotong dan (berkata as-Shafi’i) inilah pendapat yang diambilnya (oleh Abu Yusuf).[4]

Dalam kes di atas Abu Yusuf (182H) lebih cenderung kepada pendapat seorang tabiin terkenal bernama Atha’ bin Abi Rabah (115H) yang didengarnya dari Hajjaj bin Artat (145H). Ini adalah satu contoh di mana Abu Yusuf merujuk kepada pendapat tabiin dan tabiin muda kerana di saat itu Abu Yusuf tidak mengetahui sebarang hadis Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam yang berkaitan dengan subjek tersebut. Namun pendapat Atha’ atau pendapat Hajjaj tersebut akhirnya wujud di zaman as-Shafi’i (204H) dalam bentuk hadis Rasulullah.

Inilah yang menyebabkan Schacht memandang perbincangan di atas dari sudut yang berlainan. Baginya, hukum meragut dan memotong rumput asalnya hanya merupakan pendapat tokoh-tokoh sekitar awal hingga pertengahan kurun kedua hijrah kerana dari perbincangan Abu Yusuf di atas, tidak ada hadis Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam yang disebut kecuali pendapat tabiin dan tabiin muda. Namun akhirnya pendapat tersebut telah disandarkan kepada sabda Rasulullah dan menjadilah ia hadis Rasulullah di zaman Shafi’i. Justeru Schacht berkata, hadis ini dicipta antara zaman Atha’ dan Shafi’i. Schacht juga berkata, kes seperti ini membuktikan bahawa hadis Rasulullah sengaja direkacipta untuk membenarkan sesuatu hukum dan pendapat.

Pendapat Schacht kita tolak kerana apabila seseorang tokoh tidak mengetahui tentang sesuatu hadis ia tidaklah bererti bahawa hadis tersebut tidak wujud, hanya tokoh itu yang belum menemuinya. Sebagaimana yang kita tahu, tidak semua sahabat Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam, radiallahu-anhum, yang mengetahui hadis-hadis Rasulullah secara menyeluruh kerana mereka saling sibuk dengan aktiviti jihad, tugas dakwah dan kerja masing-masing. Tidak semua sahabat yang dapat menghadiri majlis ilmu Rasulullah secara serentak setiap kali. Maka ada sebahagian sahabat yang mengetahui sebahagian hadis dan ada sebahagian sahabat yang mengetahui sebahagian hadis yang lain. Setelah wafatnya Rasulullah, para sahabat bertebaran ke seluruh dunia Islam yang ketika itu telah meluas ke seluruh Jazirah Arab dan kawasan sekitarnya. Masing-masing sahabat mengajar dan menyampaikan hadis yang mereka ketahui sahaja. Kegiatan ilmiah seperti ini tidak dapat dielakkan kerana di ketika itu tidak ada teknologi canggih seperti telefon, radio, tv, telex, faks, internet dan telekonferen untuk mereka saling bertukar dan menghimpun hadis. Jurang perbezaan hadis hanya dapat dirapatkan di pertengahan kurun kedua hijrah apabila wujudnya tokoh-tokoh yang berhijrah ke seluruh Jazirah Arab dan kawasan sekitarnya untuk mencari dan mengumpul hadis.

Oleh itu apabila seseorang tokoh di satu tempat tidak mengetahui sesuatu hadis, ia tidak bererti hadis tersebut tidak wujud tetapi kerana dia masih belum menemuinya. Kehadiran hadis tersebut di masa terkemudian adalah sesuatu yang memang dijangkakan selari dengan bertambah giatnya aktiviti mencari dan membukukan hadis. Rujukan seseorang hanya akan lengkap apabila dia dapat menghimpun semua kumpulan hadis dan menelaahnya. Ini sudah tentu agak sukar di zaman pertengahan kurun kedua hijrah tetapi tidak di kurun ketiga hijrah dan seterusnya.

Muhammad bin Idris as-Shafi’i telah menerangkan: Kita tidak mengetahui sesiapa yang memiliki ilmu yang merangkumi semua sunnah kecuali tertinggal sebahagian darinya. Keseluruhan sunnah hanya dapat diketahui apabila semua ilmu-ilmu ini dikumpulkan dari semua tokoh-tokohnya. Namun jika ilmu dari setiap tokoh diambil secara berasingan, kekurangan akan ditemui di bahagian-bahagian tertentu dan kekurangan ini dapat ditemui kembali dengan merujuk kepada tokoh lain.[5]

Kembali kepada hujah Schacht di atas, sukar untuk diterima bahawa beliau tidak mengetahui selok-belok sejarah perkembangan dan pengumpulan hadis di zaman awal Islam. Schacht nampaknya lebih cenderung berhujah atas teori sendiri bahawa sesuatu hadis yang tidak diketahui seseorang sebenarnya memang tidak wujud. Schacht juga mudah menuduh umat Islam mencipta hadis tanpa sebarang bukti melainkan tekaan sahaja.

Tanpa ketinggalan, hujah Schacht di atas sedia memiliki beberapa kelemahan, iaitu:

Pertama:

Schacht mengatakan pendapat berkenaan hukum meragut dan memotong rumput di Tanah Haram Makkah hanya wujud di zaman Shafi’i dalam bentuk hadis Rasulullah, yakni antara tahun 150H sehingga 204H. Nampaknya rujukan Schacht tidak merangkumi dua kitab berikut yang sedia memiliki hadis-hadis Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam berkaitan hukum rumput di Tanah Haram Makkah:

[1] Sirah Ibnu Ishaq (151H), jld 3, ms 415-416.

[2] Musnad Rabi’ bin Habib (160H), ms 105[6]

Kedua:

Dalam bukunya yang sama: The Origins of Muhammadan Jurisprudence, mukasurat 250, Schacht berkata bahawa Hajjaj bin Artat disyaki mencipta hadis dan menyebarkannya. Jika ini sedia diketahui Schacht, maka kenapakah digunakan hujah yang berasal dari Hajjaj bin Artat di atas ? Adakah Schacht terlalu tertekan untuk mencari hujah sehingga terpaksa merujuk kepada seorang pendusta ? Dan jika benar Hajjaj mencipta hadis sendiri, kenapa dia tidak mencipta hadis mengenai hukum meragut dan memotong rumput di Tanah Haram Makkah ?


[1] The Origins of Muhammadan Jurisprudence, pg 140-141.

[2] Ini adalah kod rujukan kitab yang digunakan oleh Schacht.

[3] The Origins of Muhammadan Jurisprudence, pg 142.

[4] al-Umm, jld 7, ms 146.

[5] al-Risalah fi Usul al-Fiqh – Treatise on The Foundation of Islamic Jurisprudence, pg 89.

[6] Dirujuk dari On Schacht’s Origins of Muhammadan Jurisprudence, pg 133 oleh Azami.

Kesembilan: Merumus dari sebahagian kecil teks, jauh dari maksud asal yang sebenar.

Ini adalah antara ragam yang masyhur di kalangan sarjana hadis orientalis: menukil, menterjemah dan membuat rumusan dari sebahagian kecil teks, sedangkan rumusan tersebut sangat jauh dari maksud keseluruhan teks yang asal. Satu contoh ialah dari tulisan Schacht sebagaimana yang telah dibincangkan sebelum ini: The best of proving that a tradition did not exist at a certain time is to show that it was not used as a legal argument in a discussion which would have made reference to it imperative , if it had existed.

The evidence collected in the present chapter has been choosen with particular regard to this last point, and in a number of cases one or the other of the opponents himself states that he has no evidence other than that qouted by him, which does not include the tradition in question.

This kind of conclusion ‘e silentio’ is furthermore made safe by Tr.VIII, ii, where Shaibani says: “(This is so) unless the Medinese can produce a tradition in support of their doctrine, but they have none, or they would have produce it.” We may safely assume that the legal traditions with which we are concerned were quoted as arguments by those whose doctrine they were intended to support, as soon as they were put into circulation.[1]

Dari perenggan di atas, Schacht cuba membenarkan hujahnya dengan mengutip perkataan Muhammad as-Shaibani: Kecuali apabila orang-orang Madinah dapat mengemukakan sebuah hadis yang menyokong pendapat mereka, tetapi mereka tidak mempunyainya kerana jika tidak sudah tentu mereka akan mengemukakannya. Dari kata-kata as-Shaibani ini, Schacht berhujah bahawa apabila sesuatu hadis tidak diketahui di satu masa, ia adalah kerana hadis tersebut benar-benar tidak wujud. Akan tetapi dari kata-kata as-Shaibani di atas juga, Schacht cuba mengisyaratkan bahawa di satu ketika nanti, sesuatu pihak akan “produce” yakni mengemukakan sesebuah hadis semata-mata untuk membenarkan fahaman atau mazhabnya yang sebelum itu tidak disokong oleh sebarang hadis.

Mari kita semak kata-kata as-Shaibani dari teksnya yang sebenar:

قال أبو حنيفة رضي الله عنه كل شيء يصاب به العبد من يد أو رجل أو عين أو موضحة أو منقلة أو مأمومة أو غير ذلك فهو من قيمته على مقدار ذلك من الحر في كل قليل أو كثير له أرش معلوم من الحر السن والموضحة وما سوى ذلك ففي موضحته أرشها نصف عشر قيمته وفي يده نصف قيمته , وكذلك عينه وفي المأمومة والجائفة ثلث قيمته وفي منقلته عشر ونصف عشر قيمته .

وقال أهل المدينة في موضحة العبد نصف عشر ثمنه وفي منقلته عشر ونصف العشر من ثمنه ومأمومته وجائفته في كل واحد منهما ثلث ثمنه فوافقوا أبا حنيفة في هذه الخصال الأربع وقالوا فيما سوى ذلك ما نقص من ثمنه .

قال محمد بن الحسن كيف جاز لأهل المدينة أن يتحكموا في هذا فيختاروا هذه الخصال الأربع من بين الخصال ؟

أرأيت لو أن أهل البصرة قالوا فنحن نزيد خصلتين أخريين وقال أهل الشام فإنا نزيد ثلاث خصال أخر ما الذي يرد به عليهم .

فينبغي أن ينصف الناس ولا يتحكم فيقول قولوا بقولي ما قلت من شيء إلا أن يأتي أهل المدينة فيما قالوا من هذا بأثر فتنقاد له وليس عندهم في هذا أثر يفرقون به بين هذه الأشياء فلو كان عندهم جاءونا به فما سمعنا من آثارهم فإذا لم يكن هذا فينبغي الإنصاف فإما أن يكون هذا على ما قال أبو حنيفة. [2]

Dapat dilihat bahawa asal perbincangan adalah perbezaan pendapat antara Abu Hanifah, orang-orang Madinah, Basrah dan Syam mengenai beberapa jenis kecederaan seorang hamba dan nilai tebus baliknya. Muhammad al-Hasan as-Shaibani tidak menyetujui pendapat orang-orang Madinah, lalu berkata beliau (perenggan terakhir):

Orang-orang sepatutnya berlaku adil dan tidak sepatutnya membuat keputusan sesuka hati lalu berkata: “Buat sebagaimana yang saya katakan.” Jika dalam kes-kes ini orang-orang Madinah dapat membawa atsar-atsar yang berkaitan yang menerangkan beberapa jenis tebusan yang berbeza untuk kemalangan yang berbeza, sudah tentu kita akan mengikutnya. Tetapi mereka tidak memiliki sebarang atsar dalam bab ini untuk membeza-bezakan nilai tebusan. Jika mereka memiliki atsar-atsar tersebut kita juga akan dapat belajar dari mereka. Memandangkan mereka tidak memilikinya, maka keputusan mestilah dilakukan secara adil. Oleh itu keputusan yang tepat adalah sepertimana yang diputuskan oleh Abu Hanifah.[3]

Terdapat dua penyelewengan yang dilakukan oleh Schacht terhadap kata-kata Muhammad al-Hasan as-Shaibani di atas:

Pertama:

Shaibani tidak berkata hadis Nabi, tetapi beliau berkata Atsar. Perkataan Atsar merangkumi erti kata-kata Nabi, kata-kata sahabat dan kata-kata tabiin; ia memiliki definasi yang lebih luas dari perkataan hadis yang bererti kata-kata Nabi sahaja. Oleh itu yang sebenarnya dicari oleh Shaibani sebagai hujah ialah hadis Nabi, pendapat sahabat dan tabiin. Schacht telah membataskan pencarian Shaibani kepada hadis Nabi sahaja.

Kedua:

Dalam keseluruhan perbincangan, tidak timbul niat atau cadangan untuk mencipta sebuah hadis Rasulullah bagi membenarkan hujah masing-masing. Pertanyaan Shaibani sama ada orang-orang Madinah memiliki atsar sebagai dalil sangat jauh dari membawa makna bahawa hadis akan dicipta bagi membenarkan hujah masing-masing. Malah ia jelas menunjukkan bahawa masyarakat Islam ketika itu sangat memberi keutamaan kepada hadis Rasulullah serta pendapat sahabat dan tabiin sebagai penegak hujah dan penentu hukum.

Tindakan Schacht di atas jelas menunjukkan beliau telah menukil hujah jauh dari apa yang dimaksudkan oleh teks yang asal. Malah jika sekalipun benar perbincangan di atas antara Abu Hanifah, orang-orang Madinah, Basrah, Syam dan Muhammad as-Shaibani akhirnya akan menyebabkan hadis Rasulullah dicipta untuk membenarkan pendapat masing-masing, kita bertanya – di manakah hadis tersebut ?


[1] The Origins of Muhammadan Jurisprudence, pg 140-141.

[2] al-Umm, jld 7, ms 317.

[3] Terjemahan diringkaskan oleh penulis. Bahagian awal teks membicarakan jenis kecederaan seperti di muka, kaki, tangan dan sebagainya – berapa jenis yang diakui oleh sesebuah pihak dan yang tidak diakui oleh pihak lain serta kadar nilai tebusannya.

Kesepuluh: Menganggap para tokoh hadis leka dan lalai dari menyemak dan menapis hadis.

Ragam ini adalah lebih berupa satu taktik dari kaedah. Para sarjana orientalis cenderung membincang dan menghurai isnad-isnad hadis dengan satu cara seolah-olah ia dipenuhi kepincangan, kekacauan, kekeliruan dan kecelaruan. Dengan pengutaraan sifat isnad sebegini, para pembaca yang tidak mendalami ilmu hadis akan mudah terpengaruh dan akhirnya yakin bahawa kaedah semakan isnad tidak sedikitpun dapat menjamin kesahihan hadis.

Contohnya adalah hujah berikut dari Juynboll ketika beliau cuba menyemak sebuah hadis berkenaan kedudukan Qadi: Most of the various readings of this slogan have the successor Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqburi as a common link in the isnad. This al-Maqburi, the son of a slave, is one of a category of transmitters belonging to the successors about whom there is much difference of opinion. In his tarjama in the Tadhib (iv, pp.38ff) it says that there are fourteen (!) transmitters of that name. I venture the theory that, when isnads were evaluated in which the name of the transmitters such as this appeared, the rijal experts just could not figure out what to think.[1]

Saya telah menyemak kitab at-Tahzib at-Tahzib [2] susunan Ibnu Hajar al-Asqalani (852H), dan saya temui lima perawi yang bernama Sa’id bin Abi Sa’id, iaitu:

[1] Sa’id bin Abi Sa’id al-Ansari al-Madini (jld 4, ms 33).

[2] Sa’id bin Abi Sa’id az-Zubaidi (jld 4, ms 33).

[3] Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqburi al-Madini (jld 4, ms 34).

[4] Sa’id bin Abi Sa’id al-Beiruti (jld 4, ms 35).

[5] Sa’id bin Abi Sa’id al-Beiruti as-Sahali (jld 1, ms 236).

Dari 5 perawi yang bernama Sa’id bin Sa’id di atas, jelas dan mudah dapat dibezakan antara satu sama lain, yakni dengan menyemak nama penuh, nama gelaran dan sandaran nasab keluarga.

Dan jika sekalipun yang disemak hanyalah perawi yang bernama Sa’id sahaja, perbezaan dilakukan dengan menyemak:

[1] Generasi manakah nama “Sa’id” muncul dalam isnad, adakah generasi sahabat, tabiin, tabiin muda atau selepas tabiin. Setelah dikenal pasti, maka anggaran tarikh lahir dan meninggal dapat dilakukan.

[2] Mengesan jalan isnad di mana nama Sa’id muncul, sama ada dalam isnad yang umumnya terdiri dari para perawi Kufah, Basrah, Madinah dan sebagainya. Dengan ini dapat diketahui di mana seseorang “Sa’id” bermastautin atau belajar hadis.

[3] Mengkaji biografi perawi yang berada sebelum dan selepas nama “Sa’id” tersebut, dan perbandingan dilakukan dengan lain-lain “Sa’id.” Dengan ini dapat dibezakan antara “Sa’id” yang sama dan “Sa’id” yang lain. Juga dapat diketahui siapa guru “Sa’id” dan siapa anak murid “Sa’id.”

Dengan langkah-langkah di atas, “Sa’id” yang asalnya tadi terdiri daripada beberapa belas orang dapat dikurangkan menjadi seorang sahaja. Penulis pasti Juynboll sedia mengetahui kaedah semakan perawi di atas, hanya beliau pura-pura tidak tahu dan buat-buat keliru. Ini terbukti bahawa dalam bukunya yang sama, mukasurat 146, beliau telah menerangkan bahawa pelbagai “Sa’id” tersebut telahpun dibincangkan oleh Khatib al-Baghdadi (463H) dalam kitabnya berjudul al-Muttafiq wa ‘Imuftariq.

Lebih dari itu, jika benar terdapat 14 orang bernama Sa’id bin Abi Sa’id al-Maqburi yang bakal mengelirukan setiap penyemak isnad, maka bagaimanakah Juynboll sedia mengetahui bahawa beliau adalah [1] bekas hamba dari [2] generasi tabiin yang [3] berasal dari Madinah[3] dan [4] meninggal dunia pada tahun 117 atau 123 atau 126
Hijrah ? [4]

Kekeliruan yang cuba diungkit oleh Juynboll terhadap perawi bernama Sa’id dalam bukunya di atas jelas menunjukkan niat buruknya kerana di pelbagai tempat lain nampaknya Juynboll sedia mengetahui dan membezakan antara beberapa “Sa’id” yang sedia ada. Bagi para pembaca yang tidak prihatin akan nama-nama perawi dan tidak mendalami ilmu yang berkaitan dengannya, tipu helah Juynboll ini dan yang seumpama oleh lain-lain sarjana orientalis dalam buku mereka masing-masing pasti akan dapat memberikan keyakinan bahawa kaedah semakan isnad adalah satu kaedah yang sedikitpun tidak dapat menapis dan mensahihkan hadis. Dan sememanglah itu tujuan para sarjana hadis orientalis, targetpembaca mereka adalah dari kalangan mereka yang kurang pakar dalam bidang hadis.

Demikian 10 ragam, pola kajian dan jenis kesilapan mendasar yang sering diguna-pakai dan berlaku dalam buku-buku yang dihasilkan oleh para sarjana hadis orientalis. Dari pola kajian dan kesilapan mereka ini, sangatlah sukar untuk kita terima dan mengiktiraf bahawa kononnya para sarjana orientalis ini telah melakukan kajian, semakan dan analisa yang sangat ilmiah, terperinci dan mendalam. Malah yang benar adalah, kajian mereka bersifat sangat tidak lengkap, tidak ilmiah dan tidak terperinci sehingga tidak memungkinkan sesiapa jua untuk memutlakkan sebarang kesimpulan semata-mata dengan merujuk kepada hasil tulisan mereka. Sangatlah benar sabda Rasulullah sallallahu-alaihi-wasallam yang telah dikemukakan sebelum ini:

Janganlah bertanya kepada Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) berkenaan apa-apa kerana sesungguhnya mereka tidak akan dapat memberi petunjuk kepada kamu apabila mereka sendiri dalam kesesatan. Jika kamu menerima dari mereka sesuatu, sama ada kamu akan mempercayai apa yang batil atau menolak apa yang hak.


[1] Muslim Tradition, pg 81.

[2] Yang dirujuk oleh Juynboll adalah edisi Hyderabad, 1325-1327H dalam bentuk 12 jilid manakala yang penulis rujuk adalah edisi Dar el-Fikr, Beirut 1404H dalam bentuk 14 jilid.

[3] Lihat bukunya yang sama Muslim Tradition, pg 43.

[4] Lihat bukunya yang sama Muslim Tradition, pg 82.