A. Muktazilah Dan Biografi Abu al-Husain al-Bashri
Aliran Muktazilah merupakan aliran teologi islam yang terbesar dan tertua, yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah pemikiran dunia islam. Orang yang hendak mengetahui filsafat islam sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah islam, haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang Muktazilah, bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof islam.
Aliran Muktazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama hijrah ke kota basrah (irak), pusat ilmu dan peradaban islam di kala itu, tempat peraduan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama. Pada waktu itu banyaklah orang-orang yang hendak menghancurkan islam dari segi aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya islam ataupun tidak. Sebagaimana diketahui, sejak islam meluas banyaklah bangsa-bangsa yang masuk islam dan hidup di bawah naungannya.[1]
Dalam Muktazilah, tidak ada daerah yang terlarang bagi akal pikiran, karena akal pikiran diciptakan untuk mengetahui serta mencari, dan ia memang bisa mengetahui segala sesuatu, sampai soal-soal di luar alam (metafisika). Pembahasan aliran Muktazilah dalam soal-soal metafisika lebih luas dan lebih mendalam, sesuai dengan kedudukan mereka sebagai penganjur agama. Karena keberanian dan ketidan ragu-raguan mereka dalam mengambil hasil pemikirannya, maka mereka hanya mau menerima dalil-dalil naql yang sesuai dengan dalil-dalil aqal pikiran dan hakim terhadap ayat-ayat mutasyabihat dan hadis-hadis yang tidak sejalan dengan ketentuan akal pikiran.[2]
Tokoh-tokoh aliran Muktazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran-ajaran sendiri yang berbeda-beda dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh mempunyai aliran sendiri-sendiri.[3] Diantara aliran Muktazilah yang banyak tersebut ada salah satu tokoh dari aliran Muktazilah tersebut yang diakui oleh banyak tokoh tentang kepiawaiannya dalam bidang ushul fiqh dan ilmu kalam, yaitu Abu Husain al Basri yang berasal dari Basrah.
Abu al-Husain al Basri yang nama aslinya ialah: Muhammad Bin ‘Ali Bin At Tayib Al Basri, beliau adalah ahli kalam dari kalangan Muktazilah, beliau juga salah satu imam mereka(Muktazilah), beliau juga orang yang bagus dalam ilmu kalam, yang indah kata-katanya, luas pengetahuannya, imam pada masanya. Dan beliau juga banyak mengarang buku yang memiliki kelebihan dari yang lain dalam bidang ushul fiqh. Salah satu bukunya adalah al mu’tamad, dan buku itu adalah karya terbesarnya. Fakhru Ad Din Ar Razi banyak mengutip darinya dalam penulisan kitab al mahsũl, dan beliau juga memiliki buku Tasfihul Adilla dan, Ghororu Al Adillah beberapa jilid, dan sarah al usul al hkamsah, dan juga kitab tentang imamah, dan selain itu beliau juga memiliki kitab Al Ushul Ad Dîn, dan manusia memperoleh manfaat dari buku-bukunya. Beliau tinggal di Baghdad, dan wafat di Baghdad pada hari selasa 5 Rabiul Akhir 436 H/1044 M, semoga Allah merahmatinya, dan dikebumikan di pemakaman Asy Syũnîzî, dan salah satu yang menshalatkannya adalah Al Qâdhî Abũ ‘Abdillah Ash Shoîmirî.[4]
B. Pengaruh Aqidah Muktazilah Terhadap Pandangan Ushul Fikih Mereka.
Sebelum membahas mengenai pengaruh akidah Muktazilah terhadap pemikiran ushul fikih mereka, terlebih dahulu akan dipaparkan secara global prinsip-prinsip akidah mereka. Akidah golongan Muktazilah yang paling utama adalah lima pokok ajaran yang mereka sebut al-ushul al-khamsah, atau lima pilar utama. Kelima prinsip tersebut diurutkan menurut kepentingan dan kedudukannya, yaitu :
1. Ke-Esaan (at-Tauhid),
2. Keadilan (al-‘Adlu),
3. Janji dan Ancaman (al-Wa’du wa al-Wa’id),
4. Tempat di antara dua tempat (al-Manzilatu baina al-manzilataini) dan
5. Menyuruh berbuat baik dan melarang segala kemungkaran (amar ma’tuf nahi munkar).[5]
Kelima prinsip di atas sebenarnya juga diyakini oleh ummat Islam selain kalangan Muktazilah, tetapi kalangan Muktazilah memiliki pemahaman tersendiri yang berbeda dengan ummat Islam pada umumnya. Dalam memahami konsep at-Tauhid, mereka berpendapat bahwa Allah awt tidak boleh memiliki sifat-sifat yang membuat-Nya menyerupai manusia, sebagai jalan keluar, mereka menakwil ayat-ayat yang sepintas menggambarkan Allah memiliki sifat manusia. Konsekuensi dari takwil mereka adalah pengingkaran terhadap beberapa sifat Allah, menganggap al-Qur’an adalah makhluk, mengingkari sifat-sifat Allah sebagai sesuatu yang qadim, dan mengingkari melihat Allah di akhirat kelak.[6]
Konsep al-‘Adalah juga mereka pahami dengan cara berbeda dengna mayoritas ummat Islam. Karena menganggap Allah adalah Maha Adil, maka mereka menyatakan bahwa bukan Allah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia dan manusialah yang memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perbuatan baik atau buruk. Dengan demikian manusia bertanggung jawab atas perbuatannya. Konsep al-wa’du wa al-wa’id adalah kelanjutan atau konsekuensi logis dari konsep keadilan. Manusia yang berbaut baik akan mendapatkan balasan dan mereka yang berlaku buruk diancam azab yang pedih[7].
Prinsip berikutnya dari Muktazilah adalah prinsip al-Manzilatu baina al-Manzilataini, atau tempat di antara dua tempat. Prinsip inilah yang mejadi penyebab Washil bin Atha’ memisahkan diri dari forum Hasan al-Bashri. Menurutnya seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir namun juga bukan lagi seorang mukmin, melainkan menjadi seorang fasik[8]. Prinsip terakhir adalah memerintah pada kebaikan dan melarang keburukan.
Menurut Dr. Ali bin Said bin Shalih ad-Dhauly, seorang guru besar Ushul Fikih dan Syariah di Ahsa, di dalam bukunya Arau al-Mu’tazilati al-Ushuliyah, dari kelima prinsip di atas, prinsip pertama dan kedualah yang dianggap sebagai prinsip utama. At-Tauhid dan al-‘Adlu adalah dua prinsip yang berdiri sendiri tetapi tidak dapat dipisahkan dari lainnya. Oleh karena itu, kalangan Muktazilah sangant bangga menyebut diri merkea sebagai ahlu al-‘adli wa at-tauhid[9]. Kedua prinsip itulah yang pada gilirannya memberikan pengaruh yang besar terhadap pemikiran ushul fikih mereka.
1. Wajibnya mensyukuri nikmat Allah ta’ala
Al-Qadhi Abdul Jabbar telah menjelaskan masuknya perkara ini kedalam ashal al-adli atau pokok keadilan. Beliau menjelaskan bahwa salah satu bagian dari ulum al-‘adli adalah kita mengetahui bahwa segala nikmat yang nampak hanyalah berasal dari Allah. Baik nikmat-nikmat tersebut diperoleh langsung dari Allah, atau dengan perantara selain-Nya. Perkara ini dimasukan ke dalam ulum al-‘adl maksudnya adalah Allah membebani kita untuk mensyukuri segala nikmat yang nampak, karena semua nikmat tersebut merupakan bagian dari perbuatan Allah. Jika sekiranya nikmat-nikmat tersebut bukan bagian dari perbuatan-Nya, tentu Ia tidak akan menyuruh kita mensyukurinya, karena itu adalah perbuatan yang buruk.
2. Tidak bolehnya nasakh dalam perkara- perkara ibadah dan perkara-perkara yang ditaklifkan.
Mereka beralasan untuk hal ini bahwa ibadah-ibadah merupakan bagian dari maslahat-maslahat manusia, maka tidak mungkin menghilangkannya (raf’uha). Mereka juga berargumen bahwa perbuatan-perbuatan yang pada esensinya dapat diketahui baik dan buruknya tidak boleh dinasakh.
3. Syari’ tidak boleh menetapkan suatu taklif pada suatu perkara tetapi melarang mengerjakannya.
Alasannya karena memerintahkan atau membebankan untuk mengerjakan sesuatu lalu melarang mengerjakan perbuatan tersebut, atau membuat suatu penghalang untuk mengerjakannya merupakan hal buruk yang tidak mungkin dilakukan oleh Allah.
4. Allah tidak boleh memperdengarkan (menurunkan) kepada mukallaf nash-nash umum yang makhsus tanpa menurunkan nash-nash yang menghususkannya (mukhassis).
Abu Hudzail dan asy-Syahham menerangkan bahwa sekiranya di dalam pengetahuan Allah seseorang mendengar ayat yang zhahirnya umum sedangkan orang itu tidak mendengarkan ayat menghususkannya, maka Allah tidak boleh menurunkan ayat tersebut kecuali bersama ayat yang menghususkannya.
5. Allah ta’ala tidak boleh berkata kepada Rasul-Nya atau orang-orang yang memiliki ilmu (ulama) “hukumilah sekehendakmu”
Bagi kelompok Muktazilah, Allah tidak boleh memberikan kebebasan kepada Rasul-Nya atau orang-orang yang berilmu untuk berhukum sesuka mereka dengan alasan bahwa mereka akan sealu berkata dan berbuat baik. Allah wajib memelihara maslahat manusia, padahal terkadang manusia memilih perbuatan yang tanpa mereka ketahui mengancam kemaslahatan mereka.
Selain konsep ke-Esa-an Allah dan keadilan, konsep al-wa’du wa al-wa’idu atau janji indah dan ancaman juga berpengaruh besar di dalam pandangan ushuli madzhab Muktazilah. Konsep ini antara lain berpengaruh pada pandangan mereka tentang beberapa hal berikut ;
1. Disyaratkannya kehendak pada perintah (al-amr) dan larangan (an-nahyu).
2. Al-Wajib al-Mukhayyar harus dikerjakan semuanya.
3. Haram al-Mukhayyar harus ditinggalkan semuanya.
4. Mujtahid yang salah dalam ijtihadnya mendapatkan dosa dan pantas untuk disiksa karena kesalahannya itu (yastahiqqu al-istma wa al-’iqab).
5. Seorang ‘alim tidak boleh bertaqlid kepada seorang mujtahid dalam cabang-cabang syariat. Pendapat ini adalah pendapat Muktazilah Baghdad, mereka berkata bahwa seorang harus mencari sendiri dalil dari mujtahid dalam masalah furu’ jika ingin mengikuti mujthid tersebut.
Prisnsi al-Manzilatu baina al-manzilataini juga memiliki implikasi kepada pandangan ushul fiqih Muktazilah bahwa dosa yang diperoleh seorang mukmin karena perbuatan dosa besar akan menghapus segala amal kebaikannya. Asas terakhir yakni al-amri bi al-ma’ruf ya nahyu ‘an al-mukar berpengaruh pada cara mereka menghukumi perbuatan-perbuatan yang mengantarkan pada kebaikan atau keburukan. Bagi mereka hukum memerintah kepada yang wajib adalah wajib, yang sunnha adalah sunnah, begitupun setertusnya, melarang berbuat haram adalah wajib dan melarang berbuat makruh hukumnya mandub[10].
C. Pandangan Abul Husain al-Bashri tentang Ijma'
Sebagaimana jumhur ulama yang lain Abul Husain juga mengakui Ijma' sebagai landasan hukum yang harus diperhatikan dalam melangsungkan istinbath.[11] Ia melandaskan argumentasinya itu baik secara syar'iy maupun ‘aqliy. Pengertian Ijma’ menurutnya juga sebagaimana jumhur yang hanya tertuju pada masalah-masalah ijtihadiyyah saja.[12]
Menurut Abul Husain, Ijma’ dapat ditetapkan apabila benar-benar terdapat kata sepakat dari kalangan mujtahid yang diketahui dari “ucapan lisan”, “sikap/perbuatan” dan “kesetujuan atau ridla” mereka.[13] Maksud “ridha” di sini bisa diketahui melalui ungkapan lisan atau tiada penolakan ketika putusan hukum tersebut diterapkan. Terma inilah yang selanjutnya disebut Ijma’ Sukuti. Dalam masalah ini Abul Husain mempertimbangkan bahwa diamnya seorang mujtahid dapat mengisyaratkan kesetujuan atau ketidak-setujuan, maka harus terdapat ungkapan yang nyata, baik dari lisan, perbuatan, atau sikap-sikap lain yang mengisyaratkan hal itu.[14]
Dalam pandangan Abul Husain Ijma’ dapat terjadi di masa Sahabat dan Tabi’in, bahkan di setiap pergantian masa. Dalam alur bahasan kitab ini, ia lebih banyak memberi bantahan-bantahan bagi pihak yang menolak atau hanya mengakui Ijma’ pada masa Sahabat saja, seperti pandangan Abu Dawud al-Dhahiri beserta para pengikutnya. Menurut Abul Husain Ijma’ merupakan wujud dari kemufakatan umat Islam atas suatu masalah hukum yang awalnya masih diperdebatkan. Dan dengan Ijma’ berarti ‘Illah hukum sudah ditemukan secara mufakat. Maka bagi yang mengingkarinya berarti ia telah mengingkari kesepakatan umat Islam, dan telah keluar dari barisan kaum muslimin.[15]
Abul Husain sangat selektif dalam menilai suatu perkara yang digolongkan ke dalam Ijma’, baik berkenaan dengan proses pencapaian, muatan isi, maupun penukilan pernyataan Ijma’. Berkenaan dengan proses ia melihat banyak kejanggalan di kalangan ulama Sunni terhadap pengangkatan Ijma’ yang dengan sengaja tidak mengikut-sertakan fatwa-fatwa Washil ibn Atha’.[16] Hal inilah yang sering terjadi sehingga Ijma' hanyalah terbatas sebagai keputusan golongan dan perlu diklarifikasi lebih lanjut.
Mengenai muatan Ijma’ Abul Husain sepaham dengan cara pandang gurunya, al-Qadli Abdul Jabbar. Menurut Sang guru bahwa Ijma’ ditinjau dari aspek ini terbagi menjadi dua bentuk, yaitu; pertama, Ijma’ dalam masalah-masalah duniawi yang masih termasuk sebagai katagori Ijma’ namun hanya berlaku pada masa itu saja, seperti Ijma’ dalam menetapkan kebijakan strategi perang dan sikap politik negara. Di benak kedua mujtahid ini status hukum pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah bukan hanya termasuk katagori duniawi saja, melainkan juga masuk dalam ketagori kedua, yaitu Ijma' dalam katagori agama. Pada katagori inilah fungsi ke-hujjah-an tersebut berlaku dari satu umat hingga umat berikutnya, baik yang menyangkut masalah nalaritas akal ─seperti melihat Allah di akhirat tanpa terdapat dimensi ruang, dan terlebih menyangkut masalah syar’iyyah.[17]
Sedangkan pada segi cara penukilanya, Abul Husain menerima riwayat Ijma' dari Khabar Ahad. Menurutnya Ijma’ Ahli Madinah seperti yang dinyatakan Imam Malik tetap dapat diterima sebagai hujjah. Yakni apabila penukilan tersebut bersumber dari para Tabi’in yang mayoritas hidup di wilayah Madinah, mereka lebih utama daripada umat setelahnya, dan mereka pun lebih tahu tentang infrastruktur syariat Islam yang lebih dekat dengan masa kenabian.[18]
D. Pendapat Abul Husain al-Bashri tentang Qiyas
Abul Husain memberikan definisi Qiyas sebagai: ( اثبات حكم الاصل فى الفرع لاجتماعهما فى علة الحكم ) artinya; menetapkan fungsi hukum “asal” pada hukum “cabang” sebab terdapatnya kesesuaian dari ‘Illah (indikator hukum). Abul Husain dalam kitab al-Mu’tamad fi ushulul fiqh mencantumkan pembahasan Qiyas yang menitik-beratkan pada kedudukan teori ini sebagai dalil syariat dan dengan membedakan antara teori Qiyas Syar'iy hasil rumusan ulama Islam dengan teori Qiyas ‘Aqliy. [19] Sekiranya Abul Husain bermaksud menunjukkan titik beda untuk memurnikan kembali pemikiran Islam yang telah banyak terkontaminasi nalar filosofis dari para imigran Persia kala itu yang berlabel Yunani.
Akan tetapi, dari latar-belakang sosioculture sedemikian itu juga ikut mempengaruhi pemikiran Abul Husain sendiri. Sebagaimana mayoritas ushuliyyin yang mengakui Qiyas sebagai dalil istinbath mereka sama-sama menyatakan wajib diamalkan berlandaskan syariat. Kelompok mayoritas ini lebih cenderung mengutip ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis tanpa diperkuat alasan yang rasional. Sementara itu menurut Abul Husain, jika hanya demikian maka jawaban tersebut rentan dengan fitnah-fitnah apabila dihadapkan pada praktek analogi itu sendiri, dan terlebih dalam menantang gejolak pemikiran luar yang bebas, seperti sedang berkecamuk di Bashrah kala itu. Oleh karena itu, ia memberi pengesahan teori Qiyas sebagai dalil syariat berlandaskan logika dan dalil-dalil wahyu sekaligus. Bahkan Abul Husain secara lantang menuliskan pada sub judulnya dengan kalimat "Anaa Muta'abbidun bi al-Qiyas" (Kita Wajib Mengamalkan Qiyas).[20]
E. Teks Ditinjau dari Aspek Kandungan Hukum Taklif
Pada aspek ini teks terbagi menjadi dua bentuk, yaitu; teks memuat makna perintah (al-Amr) dan teks memuat makna larangan (al-Nahy). Dari dua bentuk muatan makna ini masing-masing memiliki faedah dalam perangkat hukum syariat, berupa; wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Dalam prosesnya para ushuliy mencoba menarik terminologi ini dari bentuk bahasa baik pada aspek ekstrinsik maupun intrinsiknya baru kemudian menetapkan makna hukum. Bentuk kata perintah (al-Amr), menurut Abul Husain secara subtansial tidaklah berfaedah “tuntutan wajib untuk dikerjakan” (li Thalab al-Fi’l) seperti pendapat jumhur dan yang kita yakini selama ini, melainkan berfaedah “kehendak/maksud” (al-Iradah). Sebab pada pengertian Abul Husain al-Amr untuk memiliki faedah “tuntutan wajib” masih membutuhkan prasyarat, yakni; perintah tersebut harus diucapkan dengan modulasi suara yang tinggi. Menurut jumhur dengan adanya prasyarat ini sangatlah mustahil untuk diterapkan pada teks-teks al-Quran yang mati untuk ditarik pada sebuah teori. Beda pandangan ini dilatar-belakangi oleh dua sudut pandang, yaitu jumhur ulama hanya meninjau dari aspek ekstrisik kebahasaan saja, sedangkan Abul Husain meninjau dari ekstrinsik dan intrinsik sekaligus. Pandangan Abul husain dalam makna kata perintah ini dapat diringkas pada kaidah-kaidah berikut ini:
a) Perintah setelah larangan bermakna menurut asal faedah makna sebelumnya.
b) Perintah wajib dilakukan hanya sekali.
c) Perintah atas sesuatu perkara, bukanlah larangan untuk perkara lain yang menjadi kebalikannya.
d) Perintah tidak harus disegerahkan, tetapi boleh diakhirkan hingga batas-batas waktu yang ditentukan.
e) Perintah yang memiliki tenggang waktu (muaqqat), ada kalanya muwassa’ (diperluas waktunya) dan ada kalanya mudlayyaq (dipersempit).
F. Penutup
Demikianlah makalah kami tentang pandngan ushul fikih Abu al-Husain al-Bashri al-Mu’tazili, semoga dapat menambah wawasan kita mengenai khazanah keilmuan Islam dalam bidang ushul fikih. Tentu saja kami berharap makalah sederhana ini dapat memenuhi amanah dari al-Ustadz yang mengampu mata kuliah Perkembangan Pemikiran Islam.
Daftar Pustaka
Ad-Dhauhi , Ali bin Sa’id bin Shalih, 1995, Arau al-Mu’tazilati al-Ushuliyah, Riyadh : Maktabah al-Rasyid Li an-Nasyri wa at-Tauzi’
Al-Bashri , Abul Husain, 1964, Al-Mu’tamad Fi Ushulul Fiqh, Damaskus : al-Ma’had al-‘Alami li Dirasah al-‘Arabi.
Khalkan , Abu Al ‘Abbas Syamsuddin Ahmad Bin Muhammad Bin Abu Bakar Bin, 1971 Wafayâtu Al Ala’yâin Wa Anbâi Abnâi Az Zamâni, Beirut: Dâr shâdar,,
. Hanafi A, M.A, Pengantar Teologi Islam, 2003, Jakarta: Pustaka Al Husna Baru
Makalah :
Jauhari, Nasrun, “Nalar Fikih Berbasis Filsafat-Teologi (Membedah kitab al-Mu’tamad fi Ushul al-Fiqh, karya; Abul Husain al-Bashri al-Mu'tazili”, Makalah ini disampaikan pada kajian Ushul Fikih Lajnah Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama, hari Jum’at, tanggal 13 Maret 2009, pukul 14.00 WK. di secretariat PCINU Mesir
Tambahan ; hasan hanafi minannash ila waqe’, …. Bukan mukmin, bukan kafir tanpa status..bukan fasiq, ghararul adillah satu jilid bondeng,
Pertanyaan para ulama madzhab Kaliurang km 23 :
1. Sederhana ; apakah sebutan Muktazilah adalah sebutan dari mereka atau dari lain?
2. Bagaimana definisi ijma muktazilah dgn ulama yang lain, ijma yang tidak memasukan wasil urutan dalilnya seperti apa??...
3. Apakah qaul shahbi bisa disetrakan ijma menurut muktaziah
4. Pa latar belakang kepunjulan muktazilah, apakah muktazilah dinisbatkan pada orang ttntu?
5. Terangkan wahyu substansial, apakah perbuatan dan taqrir di nafikan?. Nasikh wa al mansukh bukan termasuk dalil2 wahyu, tapi metode istimbath.
6.
[1] A. Hanafi, M.A, pengantar teologi Islam,(Jakarta: pustaka al husna baru, 1424H/2003M), h.75
[2] Ibid, h.122
[3] Ibid, h.82
[4] Abu al ‘abbas syamsuddin ahmad bin muhammad bin Abu Bakar bin khalkan, wafayâtu al ala’yâin wa anbâi abnâi az zamâni, (Beirut: Dâr shâdar,1971), juz 4, h.271
[5] A. Hanafi, Pengantar Teologi …, hal 89.
[6] Lihat Ibid, hal 90-92.
[7]Lihat Ibid, 92.
[8] Ibid, hal 94
[9] Ali bin Sa’id bin Shalih ad-Dhauhi, Arau al-Mu’tazilati al-Ushuliyah, (Riyadh : Maktabah al-Rasyid Li an-Nasyri wa at-Tauzi’, 1995), hal 136.
[10] Lihat Ibid, hal 77-143.
[11] Abul Husain al-Bashri, al-Mu’tamad fi ushulul fiqh, (Damaskus : al-Ma’had al-‘Alami li Dirasah al-‘Arabi) jilid II, hal. 457
[12] Ibid, jilid II, hal. 478-479
[13] Ibid, jilid II, hal. 477
[14] Ibid.,jilid II, hal. 538
[15] Ibid, jilid II, hal. 490
[16] Ibid.,jilid II, hal. 487
[17] Ibid, jilid II, hal. 489-490
[18] Ibid, jilid II, hal. 488
[19] Ibid, jilid II, hal. 649
[20] Ibid, jilid II, hal.724