Bagi sebagian orang, menulis
mungkin merupakan hal yang menjenuhkan, not impressive bahkan hanya
membuang-buang waktu. Tapi bagi dia menulis adalah obat, penyembuh dan teman
hidup. Ketika seseorang yang begitu ia cintai meninggalkan dirinya untuk
selamanya, seorang dokter memvonisnya terkena psikosomatis malignant. Sebuah
gangguan psikis yang tampil dalam bentuk gejala-gejala fisik yang dapat merusak
organ-organ tubuh lain. Penderitanya tenggelam dalam kesedihan yang teramat
sangat. Bahkan, akibat paling besar dari gangguan itu adalah kematian.
Empat opsi yang diberikan sang
dokter kepadanya; dirawat di rumah sakit jiwa, tetap di rumah tapi ada tim
dokter yang merawat, mencurahkan semua isi hati kepada orang-orang terdekatnya
atau menuangkannya dalam tulisan. Dan pada akhirnya, dia memilih yang terakhir;
menuangkannya dalam sebuah tulisan. Kini setelah tulisannya paripurna, ia berangsur
‘sembuh’, kembali menjadi seorang manusia ‘normal’, menikmati hari tuanya, sembari
menunggu sang Maha Cinta mempertemukannya kembali dengan seseorang yang paling
ia cintai. Itulah dia. Sang Mr. Crack, Baharuddin Jusuf Habibie.
Siapa yang tak kenal dia? Seorang
jenius pemilik 46 hak paten di bidang Aeronautika. Dialah sosok anak bangsa
yang dapat mengkolaborasikan cinta, nasionalisme, profesionalisme dan
religiusitas dengan begitu mendalam, tulus dan jujur. Itulah yang bisa saya
tarik dari kisah seorang Habibie dan Ainun yang dibingkai dalam sebuah film
berdurasi 2 jam.