Ifta’ Zaman Klasik Hingga Akhir Khilafah
Islam adalah agama yang telah disempurnakan oleh Allah ta’ala sebagai jawaban atas semua permasalahan yang dihadapi manusia. Jawaban-jawaban tersebut terdapat di dalam dua dasar utama ajaran Islam yakni Alqur’an dan sunnah Rasulullah. Namun demikian tidak semua persoalan manusia dikemukakan jawabannya secara eksplisit oleh kedua sumber utama tersebut. Jika muncul persoalan semacam itu maka yang harus dilakukan adalah melakukan ijtihad sebagaimana jawaban Mu’az bin Jabal di dalam dialognya dengan Rasulullah saw ketika hendak diutus ke Yaman[1].
Jika merujuk pada pengertian yang diberikan oleh al-Ghazali, ijtihad adalah pencurahan kemampuan seorang mujtahid untuk memperoleh hukum-hukum syar’i[2]. Untuk menjadi mjtahid ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang, maka tidak semua manusia bisa berijtihad. Oleh karena itu manusia dibagi menjadi dua golongan. Pertama golongan mujtahidin yaitu orang-orang yang mempunyai kemampuan memetik hukum atau menggali hukum dari dalil-dalilnya disebut juga ulama, kedua golongan ‘auwam, yaitu orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk menggali hukum dari dalil-dalilnya[3]. Orang awam wajib bertanya tentang masalah-masalah keagamaan kepada ulama yang dipercayai kealiman dan keadilannya.[4]. Proses pemberian jawaban atas persoalan keagamaan itu disebut ifta’, jawaban yang diberikan oleh ulama itu disebut fatwa.
Pemberian fatwa (ifta) adalah salah suatu institusi yang amat tua dalam peradaban Islam[5]. Mohammad Atho Mudzhar mencatat bahwa ifta dilakukan sejak abad ke-7 dan ke-8 ketika mulai muncul beragam persoalan hukum baru yang memerlukan ijtihad seirirng dengan meluasnya daerah kekuasaan kaum Muslimin. Menurut beliau, Ibrahim an-Nakha’I (w. 132 H) adalah orang yang pertama memberikan fatwa[6]. Bahkan lebih jauh lagi, menurut Prof. Dr. H. Syamsul Anwar ifta telah ada sejak zaman Nabi Muhammad saw, dan Nabi sendiri adalah mufti yang pertama, sebab dalam al-Qur’an dicatat bahwa kadang kala orang-orang meminta fatwa kepada beliau saw, misalnya peristiwa yang terekam dalam ayat yang berbunyi yastaftunaka ... qulillahu yuftikum( Q. 4: 127 dan 176)[7].
Memasuki abad ke-12 mulai dilakukan kegiatan-kegiatan pengumpulan fatwa oleh ulama dari berbagai mazhab dimana seorang ulama mazhab mengumpulkan fatwa-fatwa yang pernah dikeluarkan oleh pembesar-pembesar mazhabnya. Di kalangan mazhab Hanafi kumpulan fatwa yang paling awal dikerjakan oleh beberapa ulama mazhab itu antara lain ; kumpulan fatwa oleh Burhan ad-Din bin Maza (w. 570 H) berjudul Zakhirat al-Burhaniyyah, oleh Qadi Khan (w. 592H) berjudul al-Khaniyyah, oleh Siraj ad-Din as-Sanjawi (w. abad ke-6 H) berjudul as-Sirajiyyah, dan oleh Ibn al-Ali ad-Din (w. 800 H) berjudul Tatar Khaniyah. Dari kalangan mazhab Maliki tercatat kumpulan fatwa yang dikerjakan oleh al-Wansyiri (w. 914 H) berjudul Mi’yar al-Maghrib. Kumpulan fatwa juga terdapat di kalangna mazhab Hanbali, yang paling terkenal dan masih menjadi referensi sampai hari ini adalah kumpulan fatwa Ibn Taimiyah yang terdiri dari lima jilid berjudul Kitab Majmu’ al-Fatawa, atau dalam terbitan lain berjudul Fatawa al-Kubra. Pada abad ke-17 di India terbit kumpulan fatwa yang terkenal berjudul Fatawa al-Amqiriyyah.[8]
Ifta’ Kontemporer dan Peran Majelis Tarjih
Pembuatan dan pengumpulan fatwa tetap berlangsung hingga zaman modern ini, salah satu kumpulan fatwa modern yang terbilang besar adalah kumpulan fatwa Dar al-Ifta’ di Kairo sebanyak 130 volume yang memuat fatwa institusi tersebut sejak tahun 1895[9]. Namun demikian, cakupan fatwa pada zaman modern tidak seluas cakupan fatwa pada periode klasik. Pada zaman modern cakupan fatwa terbatas pada hukum perorangan saja. Hal ini mulai terjadi sejak abad ke-19 ketika Kesultanan Turki Utsmani mulai memasukan hukum Barat ke dalam dunia Islam dan semakin terasa ketika Kesultanan tersebut runtuh digantikan negara-negara bangsa yang memberlakukan hukum sekuler[10]. Meski cakupannya sudah terbatas, pemberian fatwa hingga zaman modern ini bukannya surut, tetapi justru mengalami peningkatan baik kualitatif maupun kuantitatif.
Selain terbatasnya cakupan fatwa pada hukum perorangan saja[11], terdapat perbedaan karakteristik antara fatwa pada periode klasik dengan fatwa-fatwa kontemporer. Pada periode klasik dan pramodern, fatwa diberikan oleh seorang ulama yang bertindak sebagai mufti individual, sedangkan pada masa kini banyak kasus dimana fatwa diberikan oleh sejumlah mufti secara kolektif atau suatu lembaga[12]. Hasil fatwanya tidak hanya dikomunikasikan kepada peminta fatwa secara langsung dan perorangan, seperti halnya fatwa pada masa klasik dan pramodern, melainkan juga dilakukan dengan memanfaatkan media modern sehingga penyebaran fatwa tersebut lebih luas[13].
Di Indonesia terdapat beberapa lembaga yang menjadi wadah bagi ulama untuk beriijtihad jama’I serta memberikan fatwa secara kolektif misalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI adalah sebuah lembaga semi pemerintah yang sejak didirikan pada tahun 1975 telah aktif mengeluarkan sejumlah fatwa menyangkut berbagai aspek kehidupan masyarakat[14]. Beberapa organisasi kemasyarakatan juga memiliki bagian khusus tempat para ulama memberikan fatwa secara kolektif. Misalnya Nahdhatul Ulama (NU) memiliki lembaga Lajnah Bahsul Masail.
Salah satu organisasi penting yang memiliki lembaga semacam itu dan menjadi objek penelitian ini adalah Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki majelis khusus yang bertanggung jawab terhadapa masalah-masalah keagamaan secara umum dan pemberian fatwa secara khusu bernama Majelis Tarjih dan Tajdid. Majelis ini dibentuk sebagai hasil kongres Muhammadiyah XVII pada tahun 1928 dengan K.H. Mas Mansyur sebagai ketua pertamanya. Sesuai namanya, awalnya majelis ini dibentuk untuk menyelesaikan masalah-masalah khilafiyah yang ada di tengah-tengah masyarakat dengan cara melakukan tarjih, lalu menetapkan pendapat yang paling kuat untuk diamalkan oleh warga Muhammadiyah[15]. Seiring dengan munculnya beragam persoalan keagamaan khususnya masalah fikih kontemporer yang tidak bisa diselesaikan melalui proses tarjih saja, Majelis Tarjih dan Tajdid kemudian berkembang tidak hanya melakukan tarjih sebagaimana pengertiannya adalam ilmu Ushul Fiqih[16], tetapi lebih jauh lagi melakukan ijtihad insyai yakni melakukan usaha untuk mengambil kesimpulan hukum dari peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh ahli fikih terdahulu.
Sebagai langkah untuk meningkatkan kinerjanya, selama kurun waktu 1985-1990 Majelis Tarjih dan Tajdid berupaya merumuskan Manhaj Tarjihnya. Pada tahun 1986, setelah Muktamar Muhammadiyah ke- 41 di Solo, Majlis Tarjih berhasil merumuskan 16 point pokok-pokok Manhaj Tarjih Muhammadiyah Pada point pertama disebutkan bahwa dalam berijtihad Muhammadiyah memakai tiga pola ijtihad, yakni ijtihad bayani, ijtihad qiyasi, dan ijtihad istislahi[17]. Ijtihad Bayani, yaitu menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash al-Quran dan al-Hadis, Ijtihad Qiyasi, yakni menyelesaikan kasus baru dengan cara menganalogikannya dengan kasus yang hukumnya telah diatur dalam nash al-Quran dan al-Hadis, sedangkan Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa kasus baru yang tidak terdapat dalam kedua sumber di atas, dengan cara menggunakan penalaran yang didasarkan atas kemaslahatan.
Pada zaman sekarang ini, disebabkan laju perkembangan masyarakat yang sangat pesat maka muncullah beragam persoalan-persoalan baru (nawazil) yang memerlukan penjelasan syar’i dari para ulama yang dikemukakan melalui fatwa-fatwa, baik karena adanya permintaan dari mustafi, atau berdasarkan inisiatif dari para ulama sendiri. Namun demikian, kebanyakan dari masalah-masalah baru itu tidak ditemukan rujukan dalilnya yang pasti di dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan semacam ini aspek kemaslahatan masyarakat sebagai inti dari maqashid asy-syari’ah harus diperhatikan, sehingga pola ijtihad yang dominan dipakai adalah ijtihad istislahi[18] yang di dalamnya tercakup konsep al-mashalih dan al-dzari’ah[19].
[1] Dialog tersebut terekam dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 3594 di dalam bab ijtiahad ar-ra’yi fi al-qadhai.
[3] T.M. Hasbi Ash-shiddieqy, Pengantar Hukum Islam Jilid I, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975),hal 179.
[4] Ibid.
[5] H. Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:RM Books, 2007), hal 297.
[6] Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta : INIS, 1993), hal 2.
[7] H. Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer..., hal 297.
[8] Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis …, hal 2.
[9] H. Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer..., hal 299.
[10] Mohammad Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 2.
[11] Kecuali untuk negara yang memberlakukan hukum Islam sebagai hukum negara seperi Saudi Arabia. Di Saudi, fatwa tidak hanya menyangkut hukum perseorangan saja tetapi juga berperan dalam ranah publik seperi politik negara tersebut. Lihat M. Atho Mudzahr, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, hal 3 .
[12] H. Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer..., hal 311.
[13] ibid
[14] Ibid
[15] Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta : Logos Publishing, 1995), hal 64.
[16] Di dalam pengertian umum ushul fiqih, tarjih berarti
[17] Ahmad Zain an-Najah, “Majelis Tarjih Muhammadiyah: Pengenalan, Penyempurnaan dan Pengembangan,” Makalah dipresentasikan dalam acara FORMAT ( Forum Kader Umat ) yang diselenggarakan oleh PCIM ( Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah ) Kairo,Mesir pada tanggal 7 Maret 2004 di Sekertariat PCIM. Hal. 5.
[18] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996 ), hal 132.
[19]. Ibid, hal 142.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar